Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4 Catatan Mengenai Fenomena Prank di Masyarakat

4 Agustus 2020   17:47 Diperbarui: 4 Agustus 2020   19:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kasus prank di Palembang/sumber : tribunnews.com

Sajian-sajian konten saat ini mengalir kian deras, seolah tak terbendung. Kanal-kanal digital semakin penuh sesak dengan para pembuat konten.

Pemilik akun kanal-kanal digital tersebut seolah berlomba untuk meraup perhatian dari warga net, dengan menelurkan ragam konten menarik menurut versi masing-masing.

Beraneka ragam sajian konten disajikan. Beragam topik beredar. Sajian hiburan, edukasi, hobi, sampai religi dapat ditemui.

Para pembuat konten memutar otak sedemikian rupa agar kontennya inovatif dan kreatif.

Semakin banyak sebuah konten diminati, maka semakin populer sang kreator konten.

Lika-liku jalan ditempuh para pembuat konten agar kontennya bisa dinikmati warga net.

Peningkatan subscriber, pelonjakan follower, meningkatnya waktu tayang menjadi pemikat geliat produksi konten.

Trend membuat konten menjadi lekat dengan masyarakat. Sebuah gaya hidup baru muncul. Menjadikan masyarakat sebagai salah satu materi konten yang dimunculkan untuk kepentingan "trend".

Masih ingat dengan video prank sampah beberapa bulan lalu yang terjadi di sebuah daerah di Jawa Barat?

Banyak sudah kajian demi kajian mengiringi fenomena video prank tersebut. Saya tidak akan membahasnya disini.

Sebuah aksi lain seorang You Tuber dari Kota Pempek Palembang bernama Edo Dwi Putra bersama rekannya, Diky Firdaus mengeluarkan konten serumpun. Membuat konten "prank" settingan yang menurut mereka ditujukan untuk keluarganya sendiri, tetapi akhirnya menjadi penyebab kegaduhan baru di jagat maya, hal ini dilansir dalam Kompas.com (04/08/2020)

Korban "prank" diberi daging kurban tetapi ternyata berisi sampah, lalu diakhiri dengan permohonan maaf dan pemberian uang. Seperti itu kira-kira.

Saya tidak akan mengupas mengenai konten yang dibuat oleh Mas Edo dan kawannya lebih lanjut.

Tertarik dengan fenomena dan gaya hidup yang trendy di jaman ini. Membuat video konten yang bertameng dibalik candaan atau guyonan.

Setelah berhasil membuat konten "prank" tersebut, meminta maaf kepada korban dan memberikan sejumlah uang.

Banyak juga konten-konten serupa menampilkan fenomena serumpun. Setelah membuat nangis korban "prank", serta merta si pembuat konten meminta maaf dan memberikan uang kepada korban. Tentu Anda masih ingat pada prank ojol yang marak terjadi di tahun lalu.

Alih-alih menyuguhkan hiburan dan candaan, apapun dilakukan untuk meraih keuntungan pribadi, bahkan ketika harus menabrak sisi etis dan martabat manusia.

Penghargaan kepada manusia lain bukan lagi satu pertimbangan penting, untuk mengeluarkan sebuah konten yang dapat dinikmati khalayak ramai. Uang menjadi obat penawar "luka", dan itu dinilai cukup mengobati.

Kehati-hatian menjaga perasaan dan martabat manusia bukan hal yang terutama. Empati kepada perasaan manusia lain kian menyurut.

Konten-konten demikian justru sangat laku keras di jagat maya. Konten-konten senada bahkan banyak sekali penontonnya.

Konten berbau hiburan dan humor yang mengangkat tema-tema demikian semakin banyak peminatnya.

Mengamati sisi lain dari konten-konten seperti itu ada beberapa catatan penting :

Berbuat apa saja atas nama popularitas.

Bertabrakan dengan etika tidak menjadi soal, yang terpenting viral. Kasus Edo Putra ini ditengarai ingin meraih subscriber sebanyak mungkin dengan menghalalkan segala cara, hal ini dilansir dalam Detik.com (04/08/2020).

Akumulasi nilai egosentris sang pembuat konten.

Semua kembali kepada diri sendiri, yang penting ego terpenuhi dan terpuaskan Tak menjadi soal manusia lain menjadi korban. Seolah-olah semua dihalalkan untuk mendapatkan tujuan.

Penghargaan tertinggi pada manusia sebatas uang.

Beberapa konten semacam ini diakhiri dengan memberikan uang untuk "penawar luka". Uang menyelesaikan segalanya? 

Bertabrakan dengan nilai edukatif dan etika.

Warga net disuguhi dengan sajian-sajian semacam ini. Minim filter tentu saja, karena kanal-kanal seperti tidak semua memiliki badan sensor. Jika terus dicekoki sajian-sajian semacam ini, mungkinkah terjadi pembenaran terhadap konten-konten semacam ini, dan akhirnya menjadi hal yang biasa saja.

Semoga saja pembenaran itu tidak terjadi, karena konten-konten edukatif, yang mengedepankan sisi-sisi humanis, etis, sarat empati masih lebih banyak.

Salam.

Referensi :

1 Kompas.com

2 Detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun