Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Menyerah, Terus Berjuang...

4 Juni 2020   11:24 Diperbarui: 4 Juni 2020   11:29 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu tayangan Master Chef Indonesia Season 6 yang saya ingat, dan menjadikan hal ini sebagai sebuah referensi “kehidupan” untuk saya, pembelajaran penting saya dapatkan dari beberapa segmen di tayangan ini!

Tayangan tersebut mengisahkan berhentinya perjalanan seorang kontestan di ajang kompetisi masak yang cukup bergengsi itu.

Dikisahkan oleh kontestan tersebut mengenai kegalauannya kepada selentingan-selentingan negatif terhadapnya. Kompetitor lain sering membuat candaan, mengapa dirinya tidak pernah maju untuk dipanggil ke meja juri, ada spekulasi yang menjadi bahan candaan, bahwa sang kontestan menggunakan “susuk”, atau hal-hal yang tidak baik, sehingga selalu ‘aman’.

Hingga pada suatu saat, muncul respon sang kontestan, dia menceritakan pengalamannya, memasukkan cangkang kepiting dengan sengaja ke dalam masakan yang akan disajikan kepada juri, alhasil, dia pulang karena kesalahan fatal itu. Sayang sekali...

Ada komentar juri yang saya catat dan tanam dalam pikiran saya, serta membenarkan arahan tersebut. Dikatakannya, bahwa sang kontestan, memasukkan kata-kata selentingan yang tidak benar itu ke dalam alam pikirannya, sehingga pikiran itu “menyetir” dan membawa dampak yang kurang mendukung kepada keamajuan dalam ajang tersebut dan sebaliknya, omongan orang lain itu membuatnya “down”, dan mengambil keputusan yang salah untuk mengikuti arus negatif perkataan orang lain yang sayangnya tidak benar.

Diulas pula dalam sesi itu, kompetisi merupakan salah satu ajang uji mental, benar! Yang diuji bukan hanya kemampuan masaknya, kemampuan pengaturan waktunya, atau hal-hal teknis lain yang berkaitan dengan ajang kompetisi ini saja. Tetapi juga mental kontestan dalam menghadapi tantangan psikis, berupa, cibiran, makian, hinaan, dan kata-kata intimidatif, dan segala hal negatif yang menyertai.

Contoh diatas banyak berseliweran di dalam kehidupan nyata kita. Saya pun, kadang tidak dapat mengatasinya, karena terlalu mendengar celotehan atau omongan-omongan negatif tak berdasar dari orang lain karena mungkin ada sentimen pribadi, atau sejumlah alasan personal dan subyektif lain.

Hasilnya terpuruk, "down", stress, dan sebagainya .....

Di tiap lini kehidupan, saya meyakini, akan selalu ada ujian atau tes-tes kecil, berupa kerikil sampai batu karang terjal menghadang, bagaimana kita bisa menghadapi itu hingga masa kesudahan menjemput.

Keputusannya memang ada pada kita, mau terhadang, atau singkirkan penghalang, dan dapatkan kelulusan dalam ujian-ujian kita. Gak semudah omongan, memang, disitulah letak tantangannya.

Seorang sahabat mengatakan kepada saya, semua tergantung pada diri kita, mau mendengarkan dan berhenti, stagnan, atau ambil sisi positif, benahi diri, dan kembali berjalan menatap ke depan.

Dunia selalu akan menampilkan tidak hanya satu sisi, dan itulah tantangan sebenarnya. Sisi-sisi kehidupan akan mengasah kita, hingga mengeluarkan kilau kehidupan, atau sebaliknya, tenggelam, dan kelar-lah hidup.

Seperti kisah Adam and Eve, yang diminta Sang Pencipta untuk tidak mengambil buah pengetahuan yang baik dan yang jahat, sudah tau konsekuensinya melanggar, datang penggoda, dan tak lulus ujian, akhirnya harus hadapi konsekuensi.

Dalam peraturan di sekolah, diharapkan siswa saat ujian tidak mencontek, tetapi ada yang melanggar, pasti diberi sanksi penegakan peraturan.

Sebaliknya, seorang memberikan effort terbaik, konsisten, memajukan, memberi impact baik kepada lingkungan, sewajarnya ada reward atas hal tersebut, namun memang, terkadang hal ini tidak diikuti oleh pemahaman yang sama. Hidup memang tak selalu indah dan ideal. Ada juga orang-orang yang justru tidak suka dengan pencapaian positif orang lain, tapi tak mengapa, toh kita hidup, bukan untuk membuat semua orang suka dengan kita, hil yang mustahal, hehe..

Kesempurnaan hanya milik Allah semata.

Rongrongan negatif, kata-kata intimidatif, kubu yang berseberangan, akan selalu menghiasi hidup, menjadi rona dalam perjalanan kita di dunia ini. Konsisten dengan apa yang kita yakini, kita tak bisa membendung semua aliran arus kata yang terjadi di lingkungan kita.

Menanggapi semua hal negatif yang ditujukan pada kita, tanpa filter, hanya akan menjadikan keterpurukan diri. Evaluasi tentu harus dilakukan, tapi, jangan sampai menarik energi negatif sehingga meluluhlantakkan bangunan konsep diri positif kita,

Hidup itu melelahkan, tapi lebih baik, ketimbang berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Hidup itu memang penuh perjuangan, jika tidak berjuang, mati namanya. Selama kita hidup, berikhtiar, melekat kepada Sang Khalik, niscaya, kita akan selalu bisa bertahan dalam mengarungi “kapal” kita di samudera kehidupan yang luas ini.

Kisah seorang Merry Riana, motivator wanita sukses, menjadi inspirasi tersendiri bagi saya. Bahkan film mengenai kisahnya saya menontonnya hingga tiga kali, beliau mengolah lika-liku hidupnya menjadi satu terobosan, yang mengantarkannya pada kesuksesan.

Dia mengalaminya lebih dulu, mengalami masa pahit kehidupan, tidak menyerah, mengubahnya yang pahit menjadi manis, dan mengabadikan kisahnya sebagai pembelajaran bagi kehidupan orang lain. Kisah dalam buku Merry Riana - Mimpi Sejuta Dolar, saya baca berulang-ulang, dan… Eureka…!

Sebuah inspirasi perjuangan dalam hidup.

Tetap semangat, terus berkarya, hadapi rintangan dengan melekatkan diri pada Sang Empunya Hidup. Percayalah, semua indah pada waktuNya.

Salam hangat , sehat selalu…

Dibuat untuk Kompasiana

Referensi :

Endah, Alberthiene. (2011). Merry Riana - Mimpi Sejuta Dolar. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun