Udah tiga bulan aja, nih, gabung di Kompasiana…
Gimana rasanya, kalo ditanya? Saya jawab… ruamee rasanya, adanya asik, enak, lalu, asik dan enak banget, hehehe…
Emang kaca mata kuda saya, akan saya tempelin terus, untuk jaga stabilitas mood menulis, sehingga produktivitas dalam menghasilkan artikel gak kendor, weeizz, hehehe…
Beberapa waktu lalu sempat gak bisa tiap hari nulis, karena leher sempat sakit dan kaku, jadi rehat dari gawai sementara waktu. Bersyukur sekali, hal itu cuma berlangsung sebentar aja.
Punya pemikiran positif untuk penulis amatiran seperti saya, wajib hukumnya. Bagi saya yang umur menulisnya baru seumur jagung di Kompasiana, memiliki positive thinking, itu penting banget, harus, mutlak!
Hobi dan passion merupakan perpaduan yang terbukti mampu mendongkrak motivasi untuk bisa tetap menulis, tanpa iming-iming apapun. Motivasinya harus dalam, sedalam lautan Atlantik. Tentunya, gak berarti mengesampingkan kualitas tulisan, dong ya? Walau tulisannya muncul kayak parade. Prosesnya juga harus digodok mateng.
Nah, ngomong-ngomong, setelah tiga bulan berelasi, berinteraksi, berkomunikasi, berbagi, dan juga, nyelip seni memahami, benar-benar jadi sesuatu yang berharga di Kompasiana. Berinteraksi dengan Kompasianers lain (sebutan penulis di Kompasiana) yang beragam warna, latar belakang, asal daerah, domisili, profesi, usia, hobi, merupakan keberkahan tersendiri.
Dulu banget, saya pernah juga nyoba, jadi penulis amatiran di sebuah redaksi majalah psikologi di Semarang, lumayan lah, ada beberapa artikel yang nyangkut di sana. Lalu berupaya mengakomodir hobi dengan ngeblog di sebuah platform blog mengenai travelling. Tapi dari kesemuanya, yang punya kesan tersendiri serta bisa berinteraksi dua arah, konten juga diarahkan, ya disini ini, Kompasiana.
Sering muncul di benak, kenapa sih, gak dari dulu aja gabungnya? Kadang nyesel juga, gak menggunakan waktu dari dulu untuk bergabung di blog ini. Nyesel, kan? Eiitss, semua ada waktunya, Nita.. semua pasti punya hikmah tersendiri, syukuri dan fokus maksimalkan potensi dan daya guna aja, disini.
Baiklah, saya mau langsung ke titik pokok, setelah berelasi, berinteraksi, berbagi, serta dibagi ilmu, juga bisa mengembangkan seni memahami, lalu hal apa sih yang terasa rame tadi itu?
Saya belajar mengenai banyak hal disini, bahkan lebih dari yang saya duga. Bukan hanya belajar mengenai teknik menulis saja. Tapi belajar juga bagaimana berinteraksi, berelasi, juga memahami budaya, nilai etis yang terbentuk disini.
Kekeluargaan yang terjalin disini sangat terasa. Awalnya tentu kami jarang atau bahkan tidak kenal satu sama lain, tetapi aura family friendly-nya tuh dapet banget. Penulis-penulis senior (maksud saya disini, penulis-penulis yang telah bergabung lama sebelum saya hadir), tak memberi batas untuk berinteraksi.
Prinsip saling menghargai yang kental, itu yang saya rasakan. Pak Tjiptadinata Effendi, Pastor Bobby, Pak Susy Haryawan, Pak Arnold Adoe, Pak Irwan Rinaldi, Pak Asrul Hoesien, Pak Rudy Gunawan, Bang Reba Lomeh, Mbah Ukik, Pak I Ketut Suweca, Pak Joko Martono, Pak Budi Susilo, Tuan Martinuz, Ibu Roselina Tjiptadinata, Ibu Nursini Rais, Mbak Hennie Triana, Mbak Derby Asmaningrum, Mas Ozzy, Ibu Anies Hidayatie, Mbak Yana Haudy, Mbak Ika Septi, Ibu Suprihati, Mbak Ari Budiyanti, Mbak Martha Weda, Mbak Fatmi Sunarya, Pak Anwar Effendi, Pak Rustian Al Ansori, Mas Faqih, Mas Yosh, Mas Guntursmara, Pak Alfonsus, dan masih banyak penulis –penulis hebat lain yang saya telah kenal selama tiga bulan ini (maafkan untuk nama-nama lain yang saya belum sebutkan disini, karena keterbatasan saya, tetapi yang jelas, semua memiliki andil dan kesan yang besar untuk saya pribadi)
Mereka sangat welcome, dan terus memberi motivasi baik langsung maupun tidak langsung. Beragam warna latar belakang tidak lantas memberi batas, semua rasanya lebur jadi satu dan menghasilkan ramuan warna baru dalam komunitas keluarga di Kompasiana.
Artikel Politik yang saya baca dari beliau-beliau, yang pakar menulis politik, bisa dibaca dengan sangat enak, dan renyah, bahkan terkadang ada terselip nuansa humor, walau pembahasannya cukup menegangkan.
Artikel humaniora yang saya baca dari beliau-beliau, yang tentu saja memiliki jam terbang tinggi, dapat memantik air mata dan sentuhan halus di dada, pertanda warning alami terjadi, banyak yang harus diubah, dan segera bertobat, sampai sejauh itulah dampak tulisan mereka mengena di hati, semua itu merupakan efek dari buah karya ketikan tangan mereka.
Artikel travel, wisata, dan juga hobi mengenai tanaman, masakan, resep kue, tips yang disajikan oleh beliau-beliau ini, juga mampu memprovokasi hati dan pikiran saya, untuk segera melakukan “aksi", karena efek membaca tulisan mereka.
Itu baru dari dampak tulisan artikel. Lalu saya pun belajar, bagaimana, budaya dan nilai etis yang dijunjung tinggi disini, tanpa mengesampingkan esensi kritis yang ingin dibangun juga. Tegur sapa khas Kompasiana dalam kolom komentar pun, saya pelajari.
Rasa ingin umtuk menambah banyak "paseduluran" (saudara), memacu saya untuk belajar sedikit demi sedikit mengenai aturan main tak tertulis di blog keroyokan ini.
Saling mengunjungi blog penulis lain, memberi vote rating, menuliskan tanggapan di kolom komentar, dan lain sebagainya. Di awal sampai detik ini, saya juga melihat, seorang penulis yang konsisten memberikan ucapan terima kasihnya kepada penulis lain yang memberikan vote di artikelnya. Sungguh, sebuah pelajaran sederhana tapi bermakna penting dalam memberi penghargaan, itu pun, saya bisa pelajari disini.
Saya pernah merasakan sedih dan prihatin juga saat membaca pengalaman rekan penulis yang anaknya sakit, bahkan ada juga penulis yang pernah menuliskan pengalaman sakitnya di artikel. Ada juga yang mengisahkan pengalaman masa lalu yang berliku karena penuh perjuangan hidup bak roller coaster yang memberi pengalaman tersendiri, ada rasa yang bergejolak di dada ini. Perasaan yang muncul karena “kedekatan” relasi, yang dalam tiga bulan ini saya alami.
Ketika seorang penulis tidak hadir di Kompasiana selama berhari-hari, saya pun dan beberapa penulis merasakan dan menjadi pertanyaan di hati, kemana beliau? Ada apa dengan beliau?
Setelah sang penulis kembali menulis dan mengatakan alasan mengapa absen menulis berhari-hari, saya dan penulis lain merasakan kelegaan, yang saya bisa terjemahkan tersirat dari kolom komentar. Unik, sebuah potret kehidupan masyarakat di dalam dunia online.
Kembali lagi ke seni memahami yang saya pelajari juga. Dengan latar belakang yang berbeda dalam banyak segi, tidak lantas membuat benteng tebal, dan garis demarkasi disini.
Demikian pula editor atau semua pihak yang bekerja di balik layar Kompasiana. Sepengetahuan saya yang masih "hijau" ini, mereka pun menghargai latar belakang kami penulis, baik saya, yang hanya remahan rempeyek kacang ini, maupun yang telah memiliki jam terbang tinggi, sama-sama dihargai.
Saya teringat akan satu tokoh dari GAA (Global Acreditation Association), sebuah lembaga internasional akreditasi bagi lembaga sekolah, bernama Pak Edward Tjahjono, dalam satu kesempatan mini workshop, beberapa waktu lalu di kantor, sempat menanyakan, bentuk kasih yang paling sederhana adalah apa? Jawabannya keluar dari beliau juga, yaitu ialah, M E M A H A M I.
Saya ingat kata-kata Pak Edward sampai sekarang, dan itu pun berlaku di Kompasiana. Beda pandangan, beda pendapat, beda aliran, beda genre gaya penulisan, beda segalanya, beda persepsi dalam melihat sesuatu, tidak seyogyanya memperuncing keadaan, yang akan bermuara pada rusaknya relasi yang hendak dibangun. Justru sebaliknya, hal itu akan menambah wawasan dan khasanah pengetahuan kita bersama.
Berusaha memahami, memandang dari sudut pandang orang lain, berusaha untuk ‘memakai’ kacamata orang lain dalam melihat sebuah persoalan atau masalah, akan mampu meminimalisir kesalahpahaman.
Sekian banyak hal yang saya dapatkan di Kompasiana, akhirnya berhasil juga membuat saya berani untuk mulai mengajak beberapa rekan, saudara, kolega, kerabat untuk gabung menulis di Kompasiana.
Visi dan misi melebarkan literasi pun bisa sekaligus didapatkan. Bagai gayung bersambut, ada 7 orang yang saya kenal, telah bergabung, dan saya nantikan tulisan-tulisannya. Mereka adalah, 1 orang rekan kerja saya,2 orang siswa saya, 3 orang kolega saya, saat mahasiswa dulu, dan 1 orang teman curhat di WA yang bekerja sebagai akuntan di sebuah RS Swasta di Surabaya, hehe.. Welcome to beyond blogging, Kompasiana, kawan.
Berkaryalah dan warnailah Kompasiana dengan artikel-artikel Anda. Layaknya sebuah masyarakat, di Kompasiana, interaksi serta relasi hangat antar warga juga dapat ditemukan dan dikembangkan. Saling mendukung, saling memberi semangat, saling memotivasi, kental terjadi.
Bagaimana, berminat untuk bergabung? Yuk, langsung cuzz untuk registrasi di Kompasiana. Mari mulailah menarikan jari-jari Anda di keyboard PC/laptop maupun keypad HP Anda untuk hasilkan artikel terbaik.
Selamat malam dan salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H