Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semai Bibit Literasi Melalui Metode Living Book

5 Mei 2020   14:40 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:56 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Literasi merupakan sesuatu yang penting dalam ranah pendidikan kita. Kembali pada kelas karakter kami di sekolah, ada salah satu metode yang bisa digunakan untuk memantik, dan melatih kemampuan literasi siswa dan siswi di sekolah, terkhusus dalam Kelas Karakter, di sekolah kami.

Saya menamakan project ini sebagai project Living Book. Living Book merupakan metode yang saya gunakan untuk :

Yang pertama, menjembatani komunikasi dengan siswa melalui tulisan, lalu yang kedua melatih siswa untuk dapat mengemukakan ide yang dialami dalam kehidupannya, yang ketiga adalah berbagi kisah hidup yang dapat memberikan pelajaran atau manfaat penting bagi kehidupan orang lain, yang keempat adalah melatih siswa untuk menulis, serta terakhir, melatih anak untuk membukukan karya tulisan yang idenya diambil dari pengalaman hidup yang dialami siswa  dan siswi sendiri secara inderawi.

Awalnya memang bukan hal yang mudah untuk memulai project ini. Tetapi karena metode ini diwajibkan satu minggu sekali untuk dikerjakan, maka hal ini telah menjadi kebiasaan yang sudah mulai dilakukan siswa-siswi secara teratur.

Foto Kisah yang ditulis Siswa  | Sumber : Dok. Pribadi / Yunita Kristanti
Foto Kisah yang ditulis Siswa  | Sumber : Dok. Pribadi / Yunita Kristanti
Ada beberapa kejadian yang memperlihatkan terjadinya dinamika yang semakin berkembang dalam metode Living Book ini. Yuk, cekidot disini :

Satu, awalnya mereka tentu sangat sulit menuliskan pengalaman yang membawa pelajaran hidup. Kadang hanya menulis tiga kalimat, 5 kalimat, atau di bawah 10 kalimat, tetapi pada perkembangannya, karena hal ini dilakukan dengan konsisten, maka mulai terlihat, di satu halaman tertulis dengan penuh, yang tentunya lebih dari 10 kalimat pengalaman hidup yang menjadi makna penting bagi mereka.

Dua, banyak sekali yang lupa membawa Living Book ini di awal, yang biasanya dijadikan alasan karena tidak punya ide menulis. Tetapi karena ada konsekwensi menulis dua judul setiap kali tidak membawa, maka mulai saat itu, siswa dan siswi mulai menulis Living Book secara teratur.

Tiga, awalnya hanya buku biasa yang mereka pakai untuk menulis Living Book ini, tetapi akhirnya mereka mengganti sesuai inisiatif mereka untuk mempersonalisasi Living Book mereka. Ada keunikan di tiap buku yang mereka pakai. Mereka mulai menghias atau pun memberikan sentuhan khusus di buku mereka agar terlihat lebih menarik dan punya kesan personal. Diberikan sampul khusus yang ditempeli gambar group musik Korea, misalnya, atau penyanyi idola mereka yang ganteng, hehe, bahkan quote favorit mereka. Keren, deh, pokoknya..

Empat, mereka memang agak malu berbagi kisah ini di depan teman-temannya. Karena memang ada aturan untuk membacakan kisah (presentasi) di depan kelas dan didengarkan oleh seluruh siswa. Tetapi dengan semangat maju tak gentar saya untuk mendorong mereka, hehe, maka ini menjadi sesuatu yang biasa untuk dilakukan di kelas Karakter. Bahkan saat beberapa waktu lalu, dengan inisiatif sendiri mereka mau membagikan kisah di buku mereka untuk kawan-kawannya tanpa ditunjuk, bahkan berebut untuk maju duluan.. Woww.

Lima, yang perlu digarisbawahi, ini bukan Diary, lho, dan tidak sama dengan konsep menulis buku Diary yang sarat dengan rahasia dan cenderung tertutup, bahkan dipasangi warning “gembok” bagi pembaca lain. Kisah-kisah yang ditampilkan disini merupakan pengalaman nyata yang bisa dibagikan kepada orang lain, dan ini bermuatan positif dalam memberi pelajaran atau inspirasi hidup. Akhirnya mereka masing-masing telah berhasil ”menerbitkan” buku kisah hidup pribadi yang bisa dibagikan dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Kami telah berhasil melewati fase menulis buku secara sederhana, tanpa disadari.

Nah, siapa tau bisa dilakukan juga di sekolah lain, adapun mekanisme penulisan Living Book yang ada di sekolah kami adalah sebagai berikut :

Siswa diminta untuk memilih buku yang akan dijadikan media untuk menulis. Bukunya tidak perlu mahal. Menghias dan mempercantik atau meng-kreasi buku tersebut agar orang lain bisa memahami keunikan buku tersebut dari buku yang lain sebagai penanda bahwa buku itu hanya miliknya, dengan kisah-kisah unik di dalamnya, merupakan hal unik tersendiri. Ada yang memberi foto-foto menarik, gambar-gambar idola, bahkan melukis cover bukunya dengan kemampuan seni yang sangat bagus.

Setelah itu buku tersebut ditulis dengan kisah yang bukan rahasia dan bisa dibagikan. Kisahnya mengenai pengalaman hidup pribadi yang dimaknai dan dapat memberi nilai dan pelajaran berharga bagi dirinya serta dapat dijadikan pelajaran atau inspirasi hidup bagi orang lain.

Kisah yang ditulis berjumlah satu selama 1 minggu. Di tiap kelas karakter yang durasi nya satu minggu sekali akan dibagikan dengan mem-presentasi kan di depan siswa lain. Jika ada yang mau dan bisa menulis lebih dari 1 juga sangat diijinkan.

Diakhiri dengan apresiasi oleh seluruh isi kelas dengan tepuk tangan dan tanggapan. Siswa dan siswi lain bisa bertanya mengenai latar belakang kisah tersebut pada penulisnya langsung.

Kira-kira begitulah, mekanisme Living Book di kelas Karakter kami. Keuntungannya sangat banyak. Yang perlu diperhatikan, konsep ini tidak bertujuan untuk kepo dengan kehidupan siswa. Karena siswa sendirilah yang memutuskan mau menulis apa dan mengulas apa. Tidak ada ketentuan siswa atau siswi harus menulis dengan ketentuan tertentu. Mereka yang memilih dan menuliskan apa yang akan dibagikan. Itu merupakan priviledge untuk mereka.

Di sisi lain, bersyukur banget, bahwa sebagai guru mereka, banyak hal yang bisa dirasakan dari ‘buku’ karya mereka sendiri ini. Dimana ketika kesulitan mengungkapkan dengan kata, bahasa tulisan dapat menjadi gerbang tersendiri untuk memahami karakter tiap anak. Banyak hal di Living Book ini menjadi sarana untuk mediasi, lalu menjadi bentuk screening mengenai kondisi mereka, jika butuh dibantu atau ditolong. Kode etik konseling sangat dijunjung tinggi, jika pada akhirnya, siswa dan siswi tersebut meminta bantuan untuk menyelesaikan sebuah masalah yang kadang bisa terungkap dari sini.

Bukan hanya itu saja, mereka pun semakin lincah bermain dengan diksi dan perbendaharaan kata yang dituangkan dalam buku kehidupan mereka ini.

Setidaknya memupuk minat literasi dengan membaca, memahami, lalu menulis telah didapatkan sekaligus via metode ini. Tentu, kisah pengalaman hidup mereka sendiri, menjadi pilihan yang mudah untuk membuka ide menulis. Karena sumbernya didapat dari pengalamannya sendiri. Banyak dari mereka yang bahkan mengingatkan saya, ketika saya sendiri kadang lupa meminta Living Book mereka untuk dikumpulkan. Inisiatif mereka sudah otomatis terbentuk, dengan langsung mengumpulkan di ruang kerja saya.

Perjalanan dalam mengembangkan karakter bertanggung jawab kepada mereka menjadi bonus yang bisa didapatkan juga  di dalam project ini. Ide kreatif yang mereka temukan seringkali menjadi efek kejut yang nyata bagi saya, ternyata memilih kisah yang ‘booming’ dan mendapat banyak tanggapan pun bisa ditangkap dengan jeli oleh mereka. Saluuut, Nak.

Saya sering ngobrol dengan mereka, bahwa buku ini minimal buku pertama mereka, yang pada akhirnya bisa diwariskan kepada anak-cucu mereka kelak. Anak atau cucu mereka bisa jadi akan bangga, karena ada kisah dan inspirasi hidup yang bisa dipelajari dari Living Book itu, daann lagi.. itu ditulis oleh nenek moyangnya sendiri, yang bukan hanya seorang pelaut, hehe. Lahirkan buku-buku lain yang akan menjadi manfaat lebih banyak lagi untuk orang-orang di sekitar kalian, ya, Nak.

Baiklah, ini sekelumit kisah yang saya bisa bagikan kembali dari Kelas Karakter kami. Semoga bisa menjadi pemantik ide untuk semua dalam membuat karya literasi sederhana pada anak-anak kita, yang menjadi sebuah penanda jejak literasi bagi mereka.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun