Nah, siapa tau bisa dilakukan juga di sekolah lain, adapun mekanisme penulisan Living Book yang ada di sekolah kami adalah sebagai berikut :
Siswa diminta untuk memilih buku yang akan dijadikan media untuk menulis. Bukunya tidak perlu mahal. Menghias dan mempercantik atau meng-kreasi buku tersebut agar orang lain bisa memahami keunikan buku tersebut dari buku yang lain sebagai penanda bahwa buku itu hanya miliknya, dengan kisah-kisah unik di dalamnya, merupakan hal unik tersendiri. Ada yang memberi foto-foto menarik, gambar-gambar idola, bahkan melukis cover bukunya dengan kemampuan seni yang sangat bagus.
Setelah itu buku tersebut ditulis dengan kisah yang bukan rahasia dan bisa dibagikan. Kisahnya mengenai pengalaman hidup pribadi yang dimaknai dan dapat memberi nilai dan pelajaran berharga bagi dirinya serta dapat dijadikan pelajaran atau inspirasi hidup bagi orang lain.
Kisah yang ditulis berjumlah satu selama 1 minggu. Di tiap kelas karakter yang durasi nya satu minggu sekali akan dibagikan dengan mem-presentasi kan di depan siswa lain. Jika ada yang mau dan bisa menulis lebih dari 1 juga sangat diijinkan.
Diakhiri dengan apresiasi oleh seluruh isi kelas dengan tepuk tangan dan tanggapan. Siswa dan siswi lain bisa bertanya mengenai latar belakang kisah tersebut pada penulisnya langsung.
Kira-kira begitulah, mekanisme Living Book di kelas Karakter kami. Keuntungannya sangat banyak. Yang perlu diperhatikan, konsep ini tidak bertujuan untuk kepo dengan kehidupan siswa. Karena siswa sendirilah yang memutuskan mau menulis apa dan mengulas apa. Tidak ada ketentuan siswa atau siswi harus menulis dengan ketentuan tertentu. Mereka yang memilih dan menuliskan apa yang akan dibagikan. Itu merupakan priviledge untuk mereka.
Di sisi lain, bersyukur banget, bahwa sebagai guru mereka, banyak hal yang bisa dirasakan dari ‘buku’ karya mereka sendiri ini. Dimana ketika kesulitan mengungkapkan dengan kata, bahasa tulisan dapat menjadi gerbang tersendiri untuk memahami karakter tiap anak. Banyak hal di Living Book ini menjadi sarana untuk mediasi, lalu menjadi bentuk screening mengenai kondisi mereka, jika butuh dibantu atau ditolong. Kode etik konseling sangat dijunjung tinggi, jika pada akhirnya, siswa dan siswi tersebut meminta bantuan untuk menyelesaikan sebuah masalah yang kadang bisa terungkap dari sini.
Bukan hanya itu saja, mereka pun semakin lincah bermain dengan diksi dan perbendaharaan kata yang dituangkan dalam buku kehidupan mereka ini.
Setidaknya memupuk minat literasi dengan membaca, memahami, lalu menulis telah didapatkan sekaligus via metode ini. Tentu, kisah pengalaman hidup mereka sendiri, menjadi pilihan yang mudah untuk membuka ide menulis. Karena sumbernya didapat dari pengalamannya sendiri. Banyak dari mereka yang bahkan mengingatkan saya, ketika saya sendiri kadang lupa meminta Living Book mereka untuk dikumpulkan. Inisiatif mereka sudah otomatis terbentuk, dengan langsung mengumpulkan di ruang kerja saya.
Perjalanan dalam mengembangkan karakter bertanggung jawab kepada mereka menjadi bonus yang bisa didapatkan juga  di dalam project ini. Ide kreatif yang mereka temukan seringkali menjadi efek kejut yang nyata bagi saya, ternyata memilih kisah yang ‘booming’ dan mendapat banyak tanggapan pun bisa ditangkap dengan jeli oleh mereka. Saluuut, Nak.
Saya sering ngobrol dengan mereka, bahwa buku ini minimal buku pertama mereka, yang pada akhirnya bisa diwariskan kepada anak-cucu mereka kelak. Anak atau cucu mereka bisa jadi akan bangga, karena ada kisah dan inspirasi hidup yang bisa dipelajari dari Living Book itu, daann lagi.. itu ditulis oleh nenek moyangnya sendiri, yang bukan hanya seorang pelaut, hehe. Lahirkan buku-buku lain yang akan menjadi manfaat lebih banyak lagi untuk orang-orang di sekitar kalian, ya, Nak.