KPM yang berbasis riset ini menuntut kami membuat sebuah riset secara ilmiah dan mengabdi selama 45 hari di Desa, hari-hari perdana di Desa, kami melakukan survey sehingga mendapatkan hasil yang nanti akan menjadi bahan penelitian sekaligus laporan untuk kegiatan kuliah pengabdian masyarakat tersebut. Dari banyak temuan yang didapatkan setelah berkeliling Desa, kami menemukan fakta bahwa anak-anak pada siang hingga sore hari sibuk bermain dan memang pendidikan di sana hanya pagi hari di sekolah secara formal. Mengulik kisah Desa Maheng, nyatanya dahulu mereka mempunyai sebuah TPA (Taman Pendidikan ALquran) yang akhirnya tidak aktif lagi karena berbagai faktor. Setelah diskusi akhirnya kami memutuskan untuk melakukan penelitian terkait TPA dengan paduan belajar tarian tradisional Aceh. Hal tersebut sungguh membuahkan hasil, setidaknya berkat pemuda kampung yang luar biasa, anak-anak dari negeri yang dianggap tidak ada "Maheng" tampil di TV untuk menarikan tarian likok pulo. Beberapa waktu dari hal tersebut membuat kelompok kami menjadi primadona, ditunggu di Desa. Apalagi, pulang dari agenda tersebut kami mengunjungi pantai yang sangat jauh bagi anak-anak disana, pantai juga menjadi barang mahal karena jarak dan transfortasi ke Pantai lumayan. Saat itu kami bangga dengan diri kami, namun ketika difikir-fikir sekarang kamilah yang belajar dari warga di Maheng, dengan semua keterbatasan namun tetap hidup dengan baik.
Penerimaan masyarakat pada kami beragam, ada yang suka, ada yang pura-pura suka dan ada yang menunjukkan kebencian dengan terang-terangan dengan sindiran. Namun, setidaknya ketika kami mengajak ibu-ibu membuat kue dan permen asam jawa yang pada akhirnya menimbulkan korban dari anggota kami, terpaksa buang air besar malam-malam, mereka menerima kami dengan baik dan
antusias dengan kegiatan kami.
Hal-Hal yang kami tertawakan semasa KPM
Meski selalu berlima (kecuali tidur terpisah dengan cowok-cowok), sebetulnya kami tidak akur-akur amat. Dimulai dari salah bicara seperti mengucapkan kata "ek lemo" atau "Lemo" tanpa sengaja, berbutut panjang dikira mengatakan teman. AKhirnya diam-diaman bahkan ketika ada dua diantara kami yang bertengkar, diam meliputi kami semua. Makan Mie dalam diam, naik motor dalam diam, tidak ada pembicaran. Aku sendiri, entah apa masalahnya pernah bertengkar dengan Kak Mai dan PM ketika KPM. Kami diam-diaman, bayangkan ketika sholat subuh dan alarm HPku paling keras berbunyi lalu aku bangun akan sholat, biasanya membangunkan mereka tapi kali itu tidak, kami sedang dalam aksi "diam-diaman". Pada akhirnya, ada lelaki bijak diantara kami sekaligus penengah kami semua, DJ, kami memanggilnya demikian.Â
Aku ingat momen ketika kami akhirnya berbaikan dari diam-diaman, hari itu hujan, kami terpaksa berteduh di warung kosong antara Desa Maheng dan Dusun LamCoet, Dj memulai percakapan.
"Kalau kuku kotor dan panjang, apa yang dipotong?"
"Kukunya"
"Benar, kukunya, bukan tangannya. Begitu juga di sini, kita sudah hidup bersama hampir satu bulan dan kalau ada masalah yang diselesaikan masalahnya bukan malah memotong kebersamaan yang ada di sini"
Saat itu, Aku pribadi terlalu naif menyadari bahwa waktu 45 hari itu tidalah lama. Harusnya kami mengisi dengan lebih banyak hal konyol seperti yang sebelumnya kami lakukan. Â