Hilal telah tampak di langit, barangkali sebentar lagi akan ada keputusan sidang isbad tentang pelaksanaan shalat idul fitri esok hari. Langit cerah, pedar hilal memantul di lautan yang membatasi kota. Namun, pintu-pintu rumah masyarakat masih rapat, tidak ada anak-anak yang riuh rendah menghidupkan petasan. Tiga malam terakhir, suasana desa mencekam. Tidak ada yang berani ke masjid untuk tarawih padahal sudah masuk 10 malam terakhir ramadan.
Rumah-rumah di desa itu sejatinya tidak semua penuh, beberapa rumah sudah ditinggalkan pemiliknya yang entah kemana. Terlihat rumah diberi tanda silang X dengan cat merah. Jika ada rumah yang sudah diberitanda sedemikian, tidak banyak yang mau mendekat. Sebab, semua rumah bertanda X artinya rumah yang sedang dicurigai sebagai mata-mata pejuang atau mata-mata sekutu.
M
us yang paling berani, ia masih santai menghirup kopi di teras rumahnya. Sepi mencekam meski jam baru menunjukkan pukul 20.30 wib. Sejak jaman penjajahan Jepang yang nyawa katanya hanya semurah ayam potong, Mus tidak takut. Orde berganti, jika jaman Belanda yang dipercaya adalah para huleebalang, jaman Jepang, Ulama menjadi tangan kanan untuk menyerang negara ini maka orde kali ini, sesama bangsa saling serang, yang satu menuntun keadilan, dibalas dengan air mata yang konon katanya untuk keutuhan NKRI.
Mus menghela nafas berat, ia sibuk berfikir. Sesekali, kenangan ramadan saat ia kecil terlintas. Meski susah saat jaman penjajahan, ia masih merasakan ramadan amat kental di rumah. Seolah-olah segala perang dihentikan begitu ramadan tiba. Sekarang? Boro-boro, jika ada penceramah meski hanya memperingati maulid, bisa jadi berakhir dipencara apalagi jika ada bau-bau politik, esoknya hilang dari peredaran. Negeri ini jarang sekali sepi dari hawa kematian.Â
Belanda minggat, Jepang datang dengan kekejaman dalam kemasan berbeda, berganti dengan zaman kemerdekaan yang saling berebut pendapat, dilanjutkan dengan berbagai isu pembangunan yang menuntun keadilan, dibangun atas air mata rakyat, lalu dikepung pula oleh tank-tank yang diturunkan ke jalan dengan alasan menjaga kesatuan NKRI, seumpama keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut harimau kemudian abadi di lambungnya singa.
Ramadan ini berbeda, tidak ada khataman beramai-ramai di meunasah. Sawah-sawah memang sudah lama tidak digarab, busung lapar, penyakit menular sudah menjadi teman. Mus akan ikut rapat diam-diam, mereka berencana menggelar shalat ied di lapangan.
Hilal sudah kelihatan di langit, Mus pamit menemui rekan untuk rapat dan rencana yang akan mereka gelar. Hilal menemani perjalanan Mus.
"Kita harus mengadakan shalat Ied itu. Bagaimana menurut Pang Laot?" Tanya Mae, mukanya merah padam
"Benar"
"Saat ini kita harus berhati-hati berbicara, dinding pun sekarang seolah punya telinga dan menyampaikan kepada mereka" Ujar Cik Lah hati-hati
"tentu" Mae mengiyakan.
Hilal sudah terlihat, suara mobil mengganggu percakapan itu. Lantas terdengar suara letusan senjata ke langit. Langkah sepatu menggetarkan tanah, Mus dan teman-teman yang sedang berkerumun, bergegas mencari tempat persembunyian, terlambat. Semuanya diciduk karena berkerumun diam-diam.
Malam sempurna turun, ketika Mus dan teman-temannya dibawa keluar desa. Tidak ada yang berani menolong, semua tetap tinggal di rumah masing-masing. Rumah Mus dan teman-temannya diberi tanda X dengan cat merah. Hilal sudah kelihatan, namun esok masih belum menampakkan kepastian. Desa kembali sepi dan mencekam.