MUDIK tahun ini. Ibu/ Bapak telah membantu menyelamatkan Indonesia dari wabah virus corona. Covid19.go.id
Terimakasih atas pengorbanan Ibu/ Bapak untuk TIDAKPesan dari gugus tugas terus menerus masuk, tidak sampai di situ iklan, spanduk, baliho, WA grup hingga dari mulut ke mulut menyatakan pesan yang sama, jangan mudik dulu. Sekalipun peraturan berubah-ubah dan merasa binggung, sekelompok orang memang memutuskan tidak mudik.
Agak memalukan sebenarnya menulis ini, sebab sebagai orang yang pernah jadi ODP (orang dalam pantauan) tentu dikira curi start mudik duluan? Ah tidak, saya ini pekerja kontrakan, bekerja di pulau jawa, jauh dari kampung halaman.
Ketika kasus pertama ditemukan, sekolah diliburkan, sebagai pekerja swasta dikontrak pula, kami kehilangan pekerjaan sejak 16 Maret 2020. Benar, kami sudah bekerja dari rumah sejak saat itu.
Pekerjaan lapangan yang kami lakukan, tidak berefek banyak ketika disuruh WFH. Hanya mengerjakan laporan akhir. Setelah 2 minggu tidak bekerja, situasi juga tidak mereda sedangkan harus bayar kosan, listrik dan kendaraan akhirnya perusahaan tempat kami bekerja memutuskan kontrak lebih cepat dari yang seharusnya.
Semua kegiatan akhir dilaksanakan dengan cara daring. Lantas, kami diperbolehkan pulang ke kampung halaman.
Saya dan teman satu kosan, tidak punya keluarga di pulau Jawa, perusahaan tidak lagi membayar untuk bulan depan, gaji juga setengah. Kami memutuskan pulang kampung, deg-degkan memang. Semua prosedur kesehatan kami lakukan, pakai masker, cuci tangan, sosial distancing, tidak jajan di bandara bahkan tidak duduk sembarangan karena takut ada virus yang menempel, kami parno.
Namun, alhamdulillah sampai ke rumah dengan selamat lalu melaksanakan karantina mandiri selama 14 hari, tidak bersalaman bahkan merendam pakaian dengan air panas setelah bepergian.
Untungnya, ketika kami pulang belum banyak peraturan macam-macam dan semua akses masih buka, belum disuruh putar balik. Daerah yang saya datangi juga tidak ada kasus positif, begitu juga daerah kedatangan. Pulang dengan keadaan darurat, alasan masuk akal dan bisa jaga prosedur kesehatan.
Ketika mendapatkan tantangan menulis THR Kompasiana tetang jangan mudik, rasanya malu mau menulis. Namun, bila masih bisa bertahan, tidak urgen, hanya mudik karena kangen kampung halaman, sebaiknya tidak dilakukan, kenapa?
Berangkat dari keparnoan pribadi antara pulang kampung atau bertahan di kampung orang saat kontrak kerja selesai, saya menemukan beberapa fakta :
1. Mudik, bisa jadi carrier
Sebelum pulang, saya membaca banyak sekali panduan kepulangan. Baik yang disediakan oleh pemerintah di website resmi atau yang dikirim dari kantor tempat kami bekerja dan sumber lainnya. Pandemi ini, bisa jadi yang terkena tidak sakit namun ia menjadi perantara orang lain menjadi terkena virus, betapa berdosanya jika iya. Makanya, saya melaksanakan prosedur ketat ketika memilih pulang kampung.
2. Mudik, Cari penyakit
Banyak sekali kisah, yang positif corona didapatkan di bandara, di swalayan, pasar dan tempat umum lainnya. Bisa jadi ketika di rumah sehat saja, namun ketika keluar malah tertular.
4. Mudik, dijauhi warga
Pengalaman saya jadi ODP lalu, selain dinyinyirin juga dijauhi warga karena dianggap sebagai pembawa penyakit.
5. Mudik, butuh biaya besar
BBM yang tak turun, tiket mahal dan harus melewati pemeriksaan berkali-kali, membuat surat dan lain-lain sebenarnya cukup merugikan. Bisa jadi semua tabungan terkuras demi mudik.
6. Tidak bisa balik lagi
Keadaan yang tidak menentu, jika mudik hanya untuk bertemu keluarga, selain beresiko menyebabkan keluarga jadi tertular Convid-19 dengan kondisi ini, bisa jadi sempat pergi tapi tak bisa balik lagi. Keadaan peraturan juga tidak menentu, kurva juga terus menaik, lebih baik tunda mudik.
Demikian pendapat saya, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H