Mohon tunggu...
Nita Indriani
Nita Indriani Mohon Tunggu... Freelancer - Music enthusiast

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Menunggu Idul Fitri untuk Berani Meminta Maaf dan Mau Memaafkan?

6 Juni 2019   08:52 Diperbarui: 6 Juni 2019   08:56 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah melewati Romadhon selama satu bulan, momen Idul Fitri menjadi momen yang paling dinanti-nanti. Dengan tajuk ikonik 'kembali ke fitri', umat muslim beramai-ramai saling menyampaikan permintaan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat, agar saat hari raya, dirinya kembali fitri seperti ketika bayi. Begitu kata Pak Ustadz di salah satu acara televisi yang pernah saya tonton.

Bukan hanya melalui lisan secara langsung, berkat kemajuan teknologi, kini meminta maaf-pun bisa lewat media sosial. Ratusan pesan broadcast dari sanak keluarga yang jauh, teman lama, teman kuliah, teman kerja, dan kenalan-kenalan yang kita miliki memenuhi ruang penyimpanan whatsapp, melewati lini masa facebook, twitter, dan instagram.

Fenomena yang amat familiar bagi umat muslim di Indonesia.

Namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah, berbulan-bulan lamanya setelah Romadhon tahun lalu, dengan ribuan bahkan mungkin puluhan ribu akumulasi kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, haruskan kita menunggu Idul Fitri terlebih dulu untuk kemudian berani meminta maaf?

Haruskah kita menunggu 1 Syawal diumumkan melalui sidang isbat baru bisa ikhlas memaafkan kesalahan orang lain?

Jawaban saya adalah : tidak harus.

Namun kenyataan yang seringkali saya temui adalah : harus.

Keharusan ini seakan telah dipatenkan oleh mayoritas muslim di Indonesia. Momentum Idul Fitri dianggap sangat tepat untuk meminta maaf, dengan dalih bahwa orang lain juga pasti mau memaafkan. Seolah dalam ucapan maaf itu tersirat pesan 'tidak peduli sebesar apa kesalahanku setahun belakangan, kamu harus mau memaafkan karena sekarang adalah Idul Fitri'.

Kalau sudah begitu, hilang sudah esensi dari meminta maaf itu sendiri.

Padahal, dengan meminta maaf, bukan berarti kita menjadi pihak yang direndahkan. Bukan berarti kita hina karena punya banyak kesalahan. Justru dengan meminta maaf, kita menampilkan diri sebagai sosok yang reflektif dan sosok yang mampu mengintrospeksi diri sendiri. Sebab manusia dan kesalahan adalah ibarat Idul Fitri dan opor ayam. Tidak bisa dipisahkan.

Begitu juga dengan memaafkan. Akan jauh lebih sulit lagi ketika kita harus menerima kesalahan yang diperbuat orang lain dan mau memaafkannya.

Sebab memaafkan juga melibatkan perasaan ikhlas di dalamnya.

Ikhlas karena perasaannya pernah disakiti, ikhlas karena pernah dirugikan, ikhlas karena pernah dipersulit, dan mengikhlaskan segalanya demi memaafkan kesalahan seseorang.

Sama seperti meminta maaf, kita tidak harus mempraktikkan cara mengikhlaskan kesalahan orang lain HANYA pada saat Idul Fitri. Memaafkan dan meminta maaf dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kesalahan yang kita perbuat telah kita sadari, segera meminta maaf. Karena dari kesalahan itu, terkadang ada hak orang lain yang kita langgar.

Pun dengan memaafkan. Tidak perlu merasa berada di atas orang lain yang berbuat kesalahan, sebab manusia diciptakan secara setara oleh Tuhan.

Meminta maaf dan memaafkan berlalu bagai siklus hujan. Ada kalanya kita harus berani mengakui kesalahan, seperti air laut yang melepaskan uapnya ke atas awan. Dan ada kalanya kita harus mau membuang ego untuk memaafkan orang lain, seperti awan yang melepaskan air hujan menuju bumi.

Dengan meminta maaf dan mau memaafkan, kita menyadari hakikat menjadi manusia yang seutuhnya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun