Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku akan mengalami semua ini. Pengalaman mengerikan ini berawal ketika kami sekeluarga akan pergi ke Tulungagung, kampung halamanku. Karena masih ada beberapa tugas dinas yang harus kuselesaikan maka keberangkatan kami tidak dapat bersama. Suami dan kedua anakku, yang sulung dan bungsu berangkat lebih dulu. Sedangkan aku bersama anak keduaku menyusul pada hari Kamis, 27 April 2017.
Mobil Travel yang kutumpangi bersama Debria, anak gadisku, seharusnya memakan waktu dua jam untuk sampai di Stasiun Kiaracondong. Ini hampir tiga jam merayap pelan dari Cianjur menuju Bandung. Macet parah di daerah Padalarang. Belum lagi di beberapa tempat di Bandung.
Berkali-kali kulirik jam tangan, sambil sesekali bertanya kepada sopir, apakah masih lama lagi untuk sampai ke stasiun. Yaa, memang dalam kondisi macet, waktu tempuh tak bisa diperkirakan. Tapi kecemasanku perlu jawaban. Berkali-kali suamiku menelepon untuk memastikan aku sudah sampai stasiun atau belum. Sampai aku harus memelankan suara dering agar penumpang lain tidak terganggu dengan pembicaraan kami yang cemas ketinggalan kereta api. Setelah melihat kondisi kemacetan yang tak berkurang dan waktu yang semakin mendesak, akhirnya, kuputuskan, kami harus turun dari mobil travel dan ganti naik ojek untuk menghemat waktu.
Cuaca sungguh tak bersahabat. Hujan melebat saat sopir berusaha mencari ojek. Akupun membantunya bertanya ke beberapa orang yang kami lewati, di mana pangkalan ojek. Berkali-kali bertanya, jawaban yang kudapat sama. Tidak ada pangkalan ojek di jalan raya yang kami lewati. Satu-satunya jawaban yang menggembirakan datang dari seorang tukang parkir. Di tengah rintik hujan, dia menjawab, “Tunggu lima menit ya, bu. Saya panggilkan tukang ojek teman saya.”
Tak sabar menunggunya, akupun meminta sopir untuk mengikuti tukang parkir tersebut. Dari dalam mobil, kulihat dia berhenti di beberapa tempat, kemudian pindah lagi ke tempat lain. Tak sabar aku menanti hasil pencarian ojeknya. Aku menghambur ke luar dari mobil dan menghampirinya. Ternyata dia tak berhasil merayu teman-temannya. Teman-temannya tidak mau “narik ojek” dalam kondisi hujan begini. Dia rupanya tak kehabisan akal. Dia meminjam motor temannya dan mengajak tukang parkir lainnya untuk mengantar kami menuju stasiun yang kami tuju.
Dua ojek, satu untukku, satu lagi untuk Debria. Dua-duanya melaju kencang, meliuk-liuk kiri-kanan, menyalip beberapa kendaraan lain. Hari semakin gelap. Ojek yang kunaiki kehabisan bensin. Mengisi bensin Rp. 10.000 terasa sangat lama kurasakan. Waktu seperti melambat. Setengah jam lagi kereta berangkat.
Keluar dari pom bensin, tak kulihat lagi ojek yang dinaiki Debria. Mataku gesit melihat di ramainya di sekeliling motor yang kutemui, untuk mencarinya. Tapi nihil. Aku bertanya kepada tukang ojekku, di mana temannya. Dia menjawab bahwa mungkin dia sudah jauh melampaui kami. Akupun sebenarnya berpikir begitu karena ojek yang dinaiki Debria memang lebih hafal jalan dibanding ojekku.
Setelah setengah jam bergulat dengan kemacetan dan berkejaran dengan waktu, sampai juga aku di Stasiun kereta api Kiaracondong. Aku berlari dari tempat parkir hingga ke tempat boarding. Kulihat sekeliling untuk mencari Debria. Di ruang tunggu yang tidak luas itu, tak kulihat sosoknya. Aku berjalan menyusuri ruangan. Kulihat di barisan kursi ruang tunggu, tidak ada. Aku keluar lagi, kucari di teras, tidak ada. Di halaman parkir, tidak ada. Segera kubuka tas untuk mencari handphone. Mati karena low bat. Buru-buru kucharge. Biasanya batere HP terisi 2% juga sudah bisa dipakai telepon. Tapi Hpku tak juga bisa kugunakan. Kutinggalkan HP di loker charger. Aku berlari keluar lobby. Aku bertanya pada tukang ojekku, di mana temannya yang memboncengkan anakku. Dia juga tidak tahu.
Terdengar peringatan bahwa kereta yang akan kunaiki segera berangkat. Aku mulai panik. Kenapa Debria tak datang juga? Kenapa tukang ojeknya lama sekali? Berbagai kemungkinan buruk mulai terlintas di benakku. Terbayang wajah lugunya. Dia masih kelas VII SMP. Akan berusia 14 tahun di bulan Mei nanti. Mungkinkah dia terjebak macet lagi? Atau terjatuh di jalan licin karena hujan belum juga berhenti? Tersesat jalan ataukah... ah.. tak mungkin. Aku berusaha menepis bayangan yang lebih buruk di kepalaku. Allah pasti melindunginya. Tapi ingatanku tentang berbagai berita di TV yang mengabarkan penculikan anak, pemerkosaan, dan berita mengerikan lainnya kembali menyadarkanku bahwa kita tidak boleh percaya begitu saja kepada orang asing. Apalagi ini bukan ojek on line yang tak bisa dirunut kejelasan identitas pengemudi dan lokasinya. Astaghfirullahaladziim. Kenapa aku begitu teledor? Membiarkan anak gadisku dibonceng orang yang tak kukenal, sendirian di kota yang sangat asing baginya? Betapa bodohnya aku. Ibu macam apa aku ini? Badanku mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di dahiku. Badanku terasa sangat lemas. Air mata tak bisa kubendung lagi. Mengalir mengalahkan rasa tegarku. Dzikir tak berhenti terucap di bibirku. Segera kuhampiri Satpam stasiun. Kuceritakan bahwa aku masih menunggu anakku. Menanyakan apakah mungkin kereta bisa ditunda sejenak saja. Satpam berusaha menjelaskan dengan sangat sopan bahwa hal itu tidak mungkin bisa dia lakukan. Jadwal kereta harus tepat.
Perasaanku mulai gamang. Sudah bukan masalah lagi bagiku apakah kami akan ketinggalan kereta atau tidak. Sekarang yang prioritas pikiranku hanya pada Debria. Kulihat lagi HP, masih tetap belum bisa kugunakan. Sambil berderai air mata, aku meminta tolong kepada seorang pria yang duduk dekat dengan charger Hp. Aku minta dia memasukkan kartu selulerku di HP nya. Berhasil. Kekecewaan dan ketakukatanku bertambah. Tak muncul nomor HP Debria. Tangisku mulai bersuara. Aku berusaha menahannya agar tak menarik perhatian orang yang ada di ruanganan. Pria itu menawarkan, mungkin nomor HP debria ada di kartu memoriku. Aku memberikan HPku padanya. Terserah mau diapakan juga aku tak peduli, yang penting aku bisa segera menelepon anakku. Kutinggalkan Hpku padanya. Aku kembali menghambur ruangan, mencari tukang ojek yang masih menungguku di luar karena belum aku bayar. Tampak wajahnya juga ketakutan. Dia bilang akan mencari temannya pakai motornya dan meminta kartu parkir yang sejak tadi kubawa. Aku menolak keras. Aku tak mengijinkannya meninggalkanku. Kalau kartu aku berikan kemudian dia keluar stasiun dan kabur maka akan lebih sulit lagi mencari Debria. Kunci motornya aku minta. Kugenggam erat.
Badankupun mulai lunglai. Anakku masih juga belum muncul. Akupun mulai histeris menahan takut yang luar biasa. Kuucap dzikir, takbir, istighfar dan kusebut nama Allah berkali-kali. Berharap Allah melindungi Debria. Hatiku terasa tercabik-cabik. Semakin aku mengingat wajahnya, semakin getir dan hancur rasanya. Bibirku bergetar hebat, bertanya kepada tukang ojekku,”Tukang ojek yang memboncengkan anak saya itu orang baik-baik, kan? Bukan orang jahat, kan? Bapak kenal sama dia kan?” Aku merengek setengah menghiba. Mengharap jawaban positif darinya. Wajahnya tampak berubah ketika kutanyakan itu. Dia menjawab sambil menunduk, “Iya, dia orang baik-baik, tidak jahat.” Kemudia dia pergi menjauhiku. Kubiarkan dia pergi. Kugenggam erat kunci motornya. Tak terlintas sama sekali bahwa dia bisa kabur dengan meninggalkan motornya. Orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing, mulai mengalihkan pandangannya ke arahku. Rasa maluku hilang sudah. Rasa panikku sudah tak tertahan lagi. Aku meminta tolong pada satpam dan beberapa petugas di stasiun untuk menemukan anakku yang hilang.
Kereta yang seharusnya kami naiki telah berangkat. Gemuruh suaranya tak mampu melebihi gemuruhnya dadaku. Sedih, bingung, takut, nelangsa, dan entah kata apa lagi yang mampu menafsirkan perasaanku. Tak pernah kurasakan rasa kehilangan yang amat sangat seperti ini. Pandanganku mulai kabur, dadaku terasa sesak. Ingin kuteriakkan namanya sekencang mungkin untuk memanggilnya agar dia bisa mendengar suaraku. Tapi bibirku terasa kelu.
Tiba-tiba kulihat tukang ojekku lari dari kejauhan sambil berteriak, “ Ibu, itu anak ibu ada, sudah ada. Dia menunggu ibu bersama tukang ojeknya di luar stasiun.”
Melihatnya berjalan bergegas ke arahku membuatku begitu bahagia. Tangisku bukan berhenti, malah meledak. Tak kupedulikan lagi pandangan orang-orang. Kakiku rasanya tak bisa lagi menahan beban rasaku. Rasa hangat kembali menjalar di sekujur tubuhku yang dari tadi menggigil ketakutan. Kupanggil namanya berulangkali. Kupandang sosoknya dari rambut hingga ke ujung kaki. Rasa syukur menyelimutiku. Satpam membimbing kami memasuki ruangan untuk menenangkan diri. Tak kan kuulangi lagi bersikap ceroboh melepaskan anak gadisku seperti itu lagi. Kupeluk dia seerat mungkin. Allah menegur dan mengingatkanku dengan caraNya. Mungkin Dia ingin aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan anak gadis yang sangat kita cintai sebentar dan ingin memberiku kesempatan kedua untuk lebih bersyukur serta menjaga amanah dengan lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H