Kereta yang seharusnya kami naiki telah berangkat. Gemuruh suaranya tak mampu melebihi gemuruhnya dadaku. Sedih, bingung, takut, nelangsa, dan entah kata apa lagi yang mampu menafsirkan perasaanku. Tak pernah kurasakan rasa kehilangan yang amat sangat seperti ini. Pandanganku mulai kabur, dadaku terasa sesak. Ingin kuteriakkan namanya sekencang mungkin untuk memanggilnya agar dia bisa mendengar suaraku. Tapi bibirku terasa kelu.
Tiba-tiba kulihat tukang ojekku lari dari kejauhan sambil berteriak, “ Ibu, itu anak ibu ada, sudah ada. Dia menunggu ibu bersama tukang ojeknya di luar stasiun.”
Melihatnya berjalan bergegas ke arahku membuatku begitu bahagia. Tangisku bukan berhenti, malah meledak. Tak kupedulikan lagi pandangan orang-orang. Kakiku rasanya tak bisa lagi menahan beban rasaku. Rasa hangat kembali menjalar di sekujur tubuhku yang dari tadi menggigil ketakutan. Kupanggil namanya berulangkali. Kupandang sosoknya dari rambut hingga ke ujung kaki. Rasa syukur menyelimutiku. Satpam membimbing kami memasuki ruangan untuk menenangkan diri. Tak kan kuulangi lagi bersikap ceroboh melepaskan anak gadisku seperti itu lagi. Kupeluk dia seerat mungkin. Allah menegur dan mengingatkanku dengan caraNya. Mungkin Dia ingin aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan anak gadis yang sangat kita cintai sebentar dan ingin memberiku kesempatan kedua untuk lebih bersyukur serta menjaga amanah dengan lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H