Perkembangan teknologi informasi yang kian mengglobal mempermudah masyarakat internasional dalam mengakses informasi dan komunikasi secara universal. Kecepatan perkembangan teknologi turut dirasakan oleh seluruh negara di dunia dalam memberikan perannya yang lebih signifikan dalam membentuk sebuah kawasan baru dalam dunia maya. Tentunya dengan perkembangan yang pesat teknologi dapat memberikan berbagai dampak tidak hanya dampak positif tetapi, juga akan memberikan dampak negatif, seperti cyberwarfare.
Cyberwarfare sendiri merujuk pada suatu tindakan dimana organisasi internasional atau bahkan suatu negara menyelinap masuk kedalam sistem negara lain dengan tujuan untuk menyerang, mengacak-acak, atau bahkan mencuri data negara tujuan dengan maksud dan tujuan tertentu secara ilegal dengan menggunakan cyber attack. Resiko kerugian yang ditimbulakan cukup kompleks mulai dari hilangnya data privasi hingga merambat ke arah industri dan keuangan suatu negara atau organisasi (Burk & Kallberg, 2016). Perang menggunakan teknologi telah menggeser perang konvensional, dimana cyberwarfare dapat dengan mudah digunakan untuk melumpuhkan lawan melalui serangan terhadap titik-titik yang dianggap lemah. Perang menggunakan teknologi juga dapat dengan mudah masuk kedalam sistem keamanan dan mengakses data pribadi lawan menggunakan teknologi dan jaringan modern (Eun & Abmann, 2014).
Fungsi utama cyberwarfare adalah sebagai alat pemaksaan politik dan unjuk kekuatan bagi negara yang memiliki power. Hal tersebut tentunya sangat membahayakan bagi keamanan nasional suatu negara, tidak hanya bagi negara berkembang saja, tetapi ancaman tersebut juga dirasakan oleh negara besar seperti AS, China, Australia dan sebagian besar Eropa.
Tiongkok merupakan salah satu negara yang telah mengembangkan kemampuan cyber dalam skala besar guna mendapatkan ekspansi terbesar dalam proses pembangunan pertahanan militernya. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang telah memiliki kekuatan militer yang mumpuni sehingga, mampu mencapai full-spectrum dominance untuk mendominasi ruang pertempuran. Tahun 2015 dikabarkan Tiongkok lebih memilih menggunakan kapabilitas yang dirancang khusus seperti cyberwarfare yang digunakan untuk mengimbangi kekuatan teknologi AS (Heginbotham, 2015).
Dengan mengembangkan kemampuan cyberwarfare, militer Tiongkok mulai melakukan aktivitas pertempuran di dunia maya. Tiongkok mulai mengatur sumber daya teknologi dan manusianya sebagai bentuk menguatnya cyberwarfare Tiongkok, antara lain:
a. Spealis jaringan militer khusus dalam penyerangan jaringan dan pertahanan, Tiongkok telah membentuk sekitar 50.000-10.0000 tentara peretas
b. Spesialis perang jaringan oleh menteri keamanan negara dan menteri keamanan publik Tiongkok
c. Pasukan non-pemerintah yang terdiri dari masyarakat sipil
Dengan strategi yang kompleks tentunya membuat AS semakin penasaran dan melakukan spionase terhadap sebagian besar universitas di Tiongkok, politisi serta bisnis di China melalui Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat sejak tahun 2009. Aksi spionase dijalankan dengan alasan mempertahankan jaringan AS dari ancaman Tiongkok.
Pertahanan dibidang teknologi yang mulai menguat, membuat China beberapa kali dituduh melakukan spionase terhadap negara-negara besar seperti Australia, Canada, Jepang, dan Amerika Serikat.