Kerang saus asam manis, kerang saus padang dan kerang carbonara, siapa yang tidak senang mencicipi olahan seafood berprotein tinggi ini? Perna viridis atau yang lebih dikenal dengan sebutan kerang hijau merupakan binatang yang hidup di pesisir pantai, laut maupun muara sungai.
Biota laut ini tergolong pada kelompok  moluska karena tubuhnya yang lunak dan tergolong ke dalam kelompok bivalvia karena memiliki cangkang. Kerang hijau umumnya ditemukan berukuran panjang 8 cm dan dapat mencapai ukuran maksimum sebesar 16,5 cm.Â
Menurut Carpenter (1998) selama ini telah diketahui bahwa kerang hijau memiliki sebaran yang luas mulai dari laut India bagian barat hingga Pasifik Barat, dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan hingga Indonesia.
Nama Sebutan yang Unik
Kerang hijau memiliki beberapa nama sebutan yang unik dari berbagai tempat. Di Indonesia, Riau misalnya, kerang ini dikenal dengan sebutan 'kemudi kapal', sementara itu di Banten dikenal dengan sebutan 'kedaung'.
Lain cerita jika teman-teman pergi ke negara tetangga seperti Malaysia, kerang hijau lebih dikenal dengan nama 'siput sudu', Singapura dikenal dengan nama 'chay luan' atau 'tam cay', di Filipina dikenal dengan nama 'tahong' dan di Thailand dikenal dengan nama 'hoimong poo'.
Tidak hanya menempel, tapi bisa berpindah tempat
Seperti yang teman-teman ketahui, kerang hijau dapat hidup di laut, pesisir pantai, dan muara sungai. Biasanya mereka hidup di kisaran kedalaman 1 m sampai 7 m, dengan cara menempel dan bergerombol pada dasar substrat yang keras seperti kayu, bambu, bahkan batu karang. Kalian penasaran gak sih kok bisa menempel ya?
Jawabannya ada pada benang byssus yang merupakan susunan protein. Bysssus ini dapat digerakan oleh otot retraktor sehingga dapat berpindah tempat.Â
Musuh dan Ancaman
Dalam melangsungkan hidupnya di alam, kerang hijau juga memiliki musuh dan menghadapi berbagai macam ancaman. Salah satu ancamannya yaitu suhu, kerang hijau bisa mati pada suhu 43 derajat celsius  hanya dalam waktu 30 menit. Perkembangan byssus akan menurun seiring dengan kenaikan suhu dan byssus akan berhenti berkembang pada suhu 35-37 derajat celsius.Â
Musuh alami yang dihadapi oleh byssus dalam melangsungkan hidupnya yaitu seperti rajungan (Portunus sp.), gurita (Octopus sp.), ikan (Monacanthus sp.). Musuh utama bagi kerang hijau yaitu bintang laut dan diketahui paling aktif memangsa kerang hijau.
Cara Berkembang Biak
Kerang hijau berkembang dengan cara bertelur. Ia bersifat dioecious yaitu induk jantan dan betina terpisah. Ia tergolong pada kelompok biota dengan fertilisasi eksternal karena pembuahan dilakukan di luar tubuh.
Telur yang sudah dibuahi umumnya berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 50 um, berikut adalah siklus hidup dari kerang hijau. Perna viridis selama hidupnya melalu tahapan 3 jenis larva yaitu trochopore, D-veliger, dan Pediveliger kemudian larva tersebut berkembang menjadi spat hingga menjadi kerang muda (juvenile mussel).
Berprotein tinggi tapi beracun?
Kerang hijau apabila dimakan seperti koin dengan dua sisi berbeda, disatu sisi sangat bermanfaat tapi disisi lain juga sangat merugikan. Kerang ini dapat dijadikan makanan alternatif bagi teman-teman yang ingin mengonsumsi makanan berprotein tinggi tanpa perlu mengkhawatirkan kandungan lemak yang tinggi.Â
Faktanya, protein yang terkandung dalam daging kerang hijau lebih besar 2 kali lipat jika dibandingkan dengan daging sapi dan daging ayam. Selain protein yang tinggi, kandungan lemaknya yang rendah yaitu 2x lebih rendah daripada daging sapi dan 3x lebih rendah daripada daging ayam.
Cara makan dan Mengapa Beracun
Pernahkah teman-teman terpikir sebenarnya bagiamana sih cara kerang hijau ini makan? Kerang hijau tergolong pada kelompok suspension feeder dan filter feeder, yaitu kelompok organisme yang cara mendapatkan makanannya dengan cara menyaring dari sesuatu yang tersuspensi dalam air. Makanan favorit kerang hijau yaitu diatom, selain itu ia juga aktif memakan fitoplankton, detritus dan bahan organik lainnya.Â
Karena bersifat filter feeder jadi segala sesuatu ia saring selain diatom, fitoplankton dan detritus, ada zat-zat lain yang ikut ia makan salah satunya yang paling berbahaya yaitu logam berat.
Apabila ia hidup di daerah dengan kadar logam berat tinggi, otomatis ia juga akan tercemar logam berat. Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu karena logam berat bersifat non degradable sehingga sulit untuk dihancurkan. Semakin tinggi kandungan logam dalam perairan semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulas di tubuh organisme. Nah, kalau sudah terakumulasi, sulit untuk dilepas karena ikatan kovalen yang kuat dengan protein dan sifatnya yang irreversible.
Sebenarnya tidak ada cara pasti untuk membedakan kerang hijau ini sudah tercemar atau tidak, tapi ada satu indikator pencemaran perairan yang bisa dijadikan pertimbangan seperi keberadaan teritip. Semakin banyak teritip yang menempel pada kulit kerang semakin besar pula, kandungan zat tercemar yang diakumulasi oleh kerang hijau.
Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan menghindari konsumsi kerang hijau yang berasal dari perairan yang tercemar logam berat, seperti kerang yang berasal dari perairan teluk jakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Endang (tahun 2007), perairan teluk jakarta positif tercemar oleh logam berat akibat limbah industri dan limbah rumah tangga. Dengan memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat ini, menjadikan kerang hijau sebagai salah satu biota laut yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak pada tekanan ekologis yang tinggi. Sehingga banyak digunakan dalam usaha budidaya perikanan.
Referensi :Â
Deming, T. 1999. Mussel byssus and biomolecular materials. Departments of Materials and Chemistry, University of California, Santa
Barbara. Elsevier Science 3: 100-105 hlm.
Endang, R. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam Sedimen  di Perairan Teluk Jakarta. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Makara Sains. 11(1): 28-36 hlm.
Hendrik A.W.C . 2008. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Oseana. XXXIII (1): 33-40 hlm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H