[caption id="attachment_124794" align="aligncenter" width="517" caption="Ilustrasi:playle.com"][/caption]
Malam perhelatan Festival Surat Cinta telah berlalu dan saya masih belum selesai membaca semua Surat Cinta dari rekan-rekan kompasianer semua. Terlebih karena hari Minggu kemarin saya sama sekali off, sama tidak membuka. Ya, saya memang bertekad membaca semua surat itu baik-baik dan mencoba memahami setiap penulisnya dari surat cinta yang ditulisnya.
Saya mengapresiasi ajakan dari admin FSC untuk meninggalkan “jejak” di setiap karya FSC dengan memberi tanggapan dan rating. Tapi saya agak menyesal karena ada beberapa rekan yang melakukan peninggalan jejak ini kurang begitu baik dan terkesan terburu-buru. Saya mengerti keterbatasan waktu dan sulitnya berkonsentrasi mambaca ratusan surat yang ada sehingga banyak rekan yang menurut pengamatan saya tidak benar-benar membaca tulisan tersebut dan begitu saja meninggalkan tanggapan yang mungkin, perkiraan saya, merupakan tanggapan copas.
Pernah terlintas di pikiran saya melakukan hal itu juga untuk menaikkan rating kunjungan ke tulisan saya sendiri. Tapi sepertinya saya tidak tega, he he he.... Saya menyadari bahwa setiap tulisan di FSC tersebut adalah karya yang dipersiapkan dengan penuh perenungan mendalam oleh rekan kompasianer. Beberapa surat bahkan tampaknya merupakan ungkapan jujur si penulis berdasarkan kisah nyatanya. Mungkin dia menuliskannya dengan perasaan meluap-luap atau bahkan mungkin dengan menahan air mata. Bagi saya setiap tulisan itu membawa “spirit” atau “nyawa” dari penulisnya. Maka, tentunya kita harus menghargai tulisan-tulisan mereka dengan membacanya baik-baik.
Saya senang karena FCS ini diadakan tentunya dengan tujuan utama meningkatkan kreativitas menulis rekan-rekan kompasianer. Setiap peserta di dalamnya tentunya adalah pribadi-pribadi yang menyukai, mendalami, dan menghargai dunia kepenulisan. Menghargai dunia kepenulisan dimulai dengan menjadi pembaca yang baik. Mari, membaca baik-baik semua surat yang ada di FSC. Jangan sampai terbawa ambisi untuk meningkatkan rating pribadi dengan memberi tanggapan atau rating yang terkesan “asal” tanpa membaca sampai selesai tulisan tersebut.
Bagaimana bila diri kita ditempatkan pada posisi yang sebaliknya? Saat kita menyiapkan suatu tulisan dengan perenungan yang sungguh-sungguh. Ada orang lain yang memberi komentar bahwa tulisan kita itu bagus tapi kita tahu bahwa dia tidak sungguh-sungguh membacanya. Bukankah ini tidak membuat kita bertanya-tanya? Betulkah tulisan kita bagus? Atau apakah tulisan kita ini begitu jelek dan membosankan sehingga orang lain pun harus “berpura-pura” mengatakan itu bagus?
Secara pribadi, pada malam perhelatan FSC tersebut saya amat terkesan dengan tanggapan dari rekan Valentino atas tulisan saya. Beliau dengan jujur memberi komen, “ku vote dulu, baca besok … mau tidurr Zzzzzzzzzzzzzz”, ha ha ha…. Beliau juga menyarankan saya untuk lekas tidur karena waktu telah mendekati pukul 01.00. Mengingatkan saya sebagai seorang “Bunda” yang pastinya perlu energi ekstra untuk mengasuh si kecil keesokan harinya (*sok perhatian padahal dianya yang sudah tidak kuat membuka mata, ha ha ha. Pissss Meneer Valen!). Mungkin ucapan jujur seperti itu lebih baik daripada kita berpura-pura seakan membaca dan memberi tanggapan yang asal.
Semoga sedikit saran saya ini tidak menyurutkan semangat rekan-rekan kompasianer dalam even-even kepenulisan mendatang. Saya juga menguapkan terima kasih pada semua rekan yang telah berpartisipasi dalam even ini. Semua surat cinta yang saya baca memperkaya perenungan dan mempertajam cara berpikir saya. Memacu kreativitas saya untuk lebih giat menulis dengan berbagai sudut pandang.
Salam FSC!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H