Pagi itu, cahaya matahari memaksa masuk. Menelisik tiap-tiap sudut agar bisa masuk ke kamar. Meski mataku belum siap untuk menerimanya. Tapi, siapa peduli? Siapa yang ingin mencegah? Kecuali ayah. Beliau akan membiarkanku terlelap hingga entah kapan kubuka kedua kelopak mata ini. Mungkin saja lelah, pikirnya. Terkadang ayah benar untuk pikirannya, tapi tidak dengan tindakannya.
Aku tau betapa sayangnya ayah padaku. Tapi gara-gara ini, aku terlambat datang ke kantor redaksi beberapa kali. Ini tidak murni kesalahan ayah, tapi mutlak kesalahanku. Ya... bagaimana pun ayah, aku tetap bersyukur.
Selain karena beliau satu-satunya orangtuaku sekarang, beliau juga telah rela jungkir balik untuk menafkahiku. Menjadikan pagi hingga malam, sama hal nya seperti pagi. Tentu dengan semangat membaranya.
"Ayahmu benar-benar telah mengorbankan waktunya untukmu," kata Sifa, teman di kantorku. Dia juga satu-satunya teman curhat yang tau seluk beluk diriku.
"Aku malu. Seharusnya beliau terus tertawa di masa tuanya. Bukan malah terbebani olehku."
***
Cuaca mendadak mendung. Langit mulai menghitam dan merambat ke sekitarnya. Di sini aku merasa telak, harus memukul dada kuat-kuat. Mengusir segala kenangan yang tiba-tiba membayang. Tiada henti berputar di kepala.
Aku tau ada rindu menjamah. Menyerang bagai peluru terlepas dari senapannya. Tapi kumohon, agar air mata kepedihan ini tak kembali menetes, atau aku akan kehilangan jiwaku, lagi.
"Hujan itu dingin, tapi sebenarnya ia hangat," kata ayah tiba-tiba. Tangannya menengadah air hujan yang menetes dari genting, di luar rumah.
"Maksud Ayah?" Aku memang tidak mengerti apa maksudnya.
"Hujan itu membawa hawa dingin. Tapi jika di dekap, keadaan akan menghangat. Apalagi jika masih ada ibumu. Kepulan asap kopi tidak akan berhenti merebak. Memenuhi rongga hingga aromanya akan membekas."