Mohon tunggu...
Niswatul Hasanah
Niswatul Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Seorang gadis yang menyukasi karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Mata Ayah

5 Oktober 2019   18:38 Diperbarui: 5 Oktober 2019   18:56 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, cahaya matahari memaksa masuk. Menelisik tiap-tiap sudut agar bisa masuk ke kamar. Meski mataku belum siap untuk menerimanya. Tapi, siapa peduli? Siapa yang ingin mencegah? Kecuali ayah. Beliau akan membiarkanku terlelap hingga entah kapan kubuka kedua kelopak mata ini. Mungkin saja lelah, pikirnya. Terkadang ayah benar untuk pikirannya, tapi tidak dengan tindakannya.

Aku tau betapa sayangnya ayah padaku. Tapi gara-gara ini, aku terlambat datang ke kantor redaksi beberapa kali. Ini tidak murni kesalahan ayah, tapi mutlak kesalahanku. Ya... bagaimana pun ayah, aku tetap bersyukur.

Selain karena beliau satu-satunya orangtuaku sekarang, beliau juga telah rela jungkir balik untuk menafkahiku. Menjadikan pagi hingga malam, sama hal nya seperti pagi. Tentu dengan semangat membaranya.

"Ayahmu benar-benar telah mengorbankan waktunya untukmu," kata Sifa, teman di kantorku. Dia juga satu-satunya teman curhat yang tau seluk beluk diriku.

"Aku malu. Seharusnya beliau terus tertawa di masa tuanya. Bukan malah terbebani olehku."

***

Cuaca mendadak mendung. Langit mulai menghitam dan merambat ke sekitarnya. Di sini aku merasa telak, harus memukul dada kuat-kuat. Mengusir segala kenangan yang tiba-tiba membayang. Tiada henti berputar di kepala.

Aku tau ada rindu menjamah. Menyerang bagai peluru terlepas dari senapannya. Tapi kumohon, agar air mata kepedihan ini tak kembali menetes, atau aku akan kehilangan jiwaku, lagi.

"Hujan itu dingin, tapi sebenarnya ia hangat," kata ayah tiba-tiba. Tangannya menengadah air hujan yang menetes dari genting, di luar rumah.

"Maksud Ayah?" Aku memang tidak mengerti apa maksudnya.

"Hujan itu membawa hawa dingin. Tapi jika di dekap, keadaan akan menghangat. Apalagi jika masih ada ibumu. Kepulan asap kopi tidak akan berhenti merebak. Memenuhi rongga hingga aromanya akan membekas."

Aku tercengang. Sekali lagi, ternyata nuansa hangat yang dimaksud ayah adalah ibu. Sosok wanita yang takkan terganti bagi kami. Begitu banyak jejak-jejak yang ibu titikkan hingga membekas.

Dalam hal sekecil ini pun akan mendapat ruang paling lebar di hati ayah. Padahal mungkin, di usianya yang menginjak renta ini, beberapa hal mudah terlupa. Tapi tidak dengan ibu. Beliau memang hebat. Seberapa suka duka yang kami lewati, satu pun tidak ada yang hilang.

"Senyum ibumu paling manis. Apalagi saat hujan, akan bertumbuk dengan kopi tanpa gula buatannya."

Ayah tidak berhenti mengoceh tentang ibu. Aku yakin, kerinduannya akan ibu tengah menyeruak.

"Tapi sekarang senyum ibumu telah tertelan rintik-rintik hujan."

Sekarang aku mulai mengerti. Ayah mengencani rintik-rintik hujan untuk mencari senyum ibu yang hilang.

Blitar, 5 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun