Aku tercengang. Sekali lagi, ternyata nuansa hangat yang dimaksud ayah adalah ibu. Sosok wanita yang takkan terganti bagi kami. Begitu banyak jejak-jejak yang ibu titikkan hingga membekas.
Dalam hal sekecil ini pun akan mendapat ruang paling lebar di hati ayah. Padahal mungkin, di usianya yang menginjak renta ini, beberapa hal mudah terlupa. Tapi tidak dengan ibu. Beliau memang hebat. Seberapa suka duka yang kami lewati, satu pun tidak ada yang hilang.
"Senyum ibumu paling manis. Apalagi saat hujan, akan bertumbuk dengan kopi tanpa gula buatannya."
Ayah tidak berhenti mengoceh tentang ibu. Aku yakin, kerinduannya akan ibu tengah menyeruak.
"Tapi sekarang senyum ibumu telah tertelan rintik-rintik hujan."
Sekarang aku mulai mengerti. Ayah mengencani rintik-rintik hujan untuk mencari senyum ibu yang hilang.
Blitar, 5 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H