Akhir-akhir ini, sejumlah daerah di Indonesia mengalami Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLB KP). Penyebabnya adalah makanan impor dari Cina, latiao. Beberapa wilayah yang melaporkan KLB ini ialah Lampung, Sukabumi, Wonosobo, Tangerang Selatan, Bandung Barat, Pamekasan, dan Riau.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, menyatakan bahwa setelah menerima laporan tentang keracunan pangan, mereka segera bekerja sama dengan pihak terkait di setiap wilayah untuk mengambil sampel makanan dan melakukan pengujian laboratorium. Hasilnya, BPOM menemukan kontaminasi bakteri Bacillus cereus pada produk pangan Latiao. Untuk melindungi kesehatan publik, BPOM menghentikan sementara semua produk Latiao dari penjualan. BPOM juga akan menarik 73 produk yang terdaftar hingga benar-benar dipastikan aman untuk dijual.
Kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh produk Latiao yang memicu kejadian luar biasa ini mengingatkan kita pada kasus serupa. Kita diingatkan kembali oleh kejadian pada tahun 2022 saat obat sirop yang mengandung zat kimia melebihi ambang batas aman telah menyebabkan gagal ginjal akut pada ratusan anak. Zat kimia tersebut yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). EG dan DEG merupakan zat kimia berbahaya dengan ambang batas aman 0,1 miligram/mililiter, termasuk propilen glikol (PG), yang terdapat pada pelarut tambahan obat sirop.
Sampai Februari 2023, 326 kasus gagal ginjal akut terjadi di 27 provinsi di Indonesia, dengan 204 anak meninggal dan sisanya sembuh. Baresskrim Polri melakukan penyelidikan untuk mendalami pihak yang terkait dengan kejadian tersebut. PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Yarindo Farmatama adalah beberapa perusahaan yang diselidiki terkait dengan kasus tersebut. Tiga perusahaan itu juga memiliki puluhan obat sirop yang ditarik keluar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pada saat itu, pemerintah, terdiri dari Kemenkes, Kemendag, dan BPOM, saling lempar tanggung jawab atas kasus gagal ginjal akut yang membunuh ratusan anak. Kemenkes menyatakan bahwa BPOM adalah lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan bahan obat-obatan, bukan kementeriannya. Selain itu, Kemenkes menegaskan bahwa masalah yang berkaitan dengan dugaan penipuan dalam pasokan bahan baku obat bukan tanggung jawab Kemenkes.
Ketua BPOM saat itu, Penny K. Lukito, menyatakan bahwa BPOM tidak bertanggung jawab atas penggunaan senyawa kimia EG dan DEG, yang ternyata digunakan oleh beberapa bisnis farmasi untuk membuat pelarut obat sirop. Lukito menyatakan bahwa penggunaan bahan oplosan ini di luar pengawasan BPOM dan merupakan perbuatan ilegal. BPOM hanya ditugaskan untuk mengawasi dan memeriksa bahan baku dalam kategori pharmaceutical grade atau khusus farmasi untuk pelarut obat sirup. Dalam hal impor dan peredaran EG dan DEG, BPOM tidak melakukan pengawasan. Ini karena zat kimia tersebut sebenarnya digunakan dalam industri di luar farmasi.
Dalam hal impor senyawa propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG), Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak mengatur pembatasan. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa karena PG dan PEG tidak diatur oleh regulasi impor, mereka diimpor tanpa melalui Kemendag. Meskipun hasil akhirnya empat perusahaan farmasi telah ditetapkan sebagai tersangka, namun kasus ini harusnya memberikan tamparan keras pada lembaga negara terkait seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan keamanan obat dan pangan bagi masyarakat seharusnya melakukan evaluasi dan penyelidikan menyeluruh daripada saling lempar tanggung jawab satu sama lain.
Dan saat ini, kejadian luar biasa terjadi lagi pada produk makanan Latiao. Ini bukan lagi disebut sebagai kecolongan, tetapi kelalaian negara. Negara lalai dalam memastikan setiap produk obat dan makanan yang beredar luas di masyarakat aman dan tidak berbahaya.
Sayangnya, negara tidak pernah berbenah diri. Padahal, negara harus belajar dari keteledorannya pada kasus-kasus KLB sebelumnya, karena korbannya adalah anak-anak, yakni generasi masa depan. Negara juga harus bertanggung jawab jika terjadi keracunan atau kematian akibat produk obat dan pangan yang beredar. Ini karena negara memiliki kewajiban untuk menjamin dan memastikan bahwa setiap obat dan pangan yang beredar di masyarakat adalah aman.
Namun, tanggung jawab tersebut semakin terkikis dalam sistem kapitalisme sekuler. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan melayani rakyat. Para pejabat negara sering "cuci tangan" dan "buang badan" saat terjadi keracunan luar biasa atau kasus seperti gagal ginjal akut. Sejauh ini, hanya ada hukuman unsur tindak kriminal kepada para pelaku industri yang memproduksi dan mendistribusikannya. Tetapi, untuk pejabat terkait yang bertanggung jawab atas kelalaian dalam pengawasan dan uji kelayakan makanan, seperti BPOM atau Kemenkes, tidak diberlakukan sanksi apapun.
Dalam kasus Latiao misalnya, negara memiliki kewajiban dan wewenang untuk memantau dan mengawasi uji kelayakan dari semua aspek, termasuk bahan impor, produksi, komposisi, dan distribusi. Meskipun produksi dilakukan oleh individu atau industri swasta, negara tetap harus melakukan pengawasan untuk menjamin keamanan dan kesehatan masyarakat. Jika kewajiban ini tidak dilakukan, maka hal itu disebut sebagai kelalaian dan perbuatan lepas tanggung jawab.
Padahal, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dan dalam aturan Islam, setiap pemimpin dianggap sebagai pengurus. Yang bermakna seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas apa yang dia pimpin. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyat akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan seorang budak juga merupakan pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari No. 6605).
Penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas semua orang yang dia pimpin. Jika dia menemukan bahwa pejabat di bawahnya tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik, penguasa harus bersikap tegas dan memberikan sanksi kepada mereka. Negara, dalam hal ini penguasa, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat aman. Dengan menggunakan mekanisme yang dicontohkan oleh sistem Islam, negara akan menetapkan kebijakan keamanan pangan sebagai berikut:
Pertama, menetapkan regulasi untuk industri makanan dan minuman agar sesuai dengan ketentuan halal dan tayib (aman). Artinya, produk pangan yang beredar tidak mengandung bahan berbahaya dan tidak menyebabkan penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, dsb.
Kedua, melakukan pengawasan dengan peran al-hisbah, lembaga negara yang mengawasi dan mengontrol industri makanan harus mencegah kecurangan, penipuan, pengurangan takaran dan timbangan, serta menjamin keamanan obat dan bahan pangan yang beredar.
Ketiga, memberikan edukasi secara menyeluruh kepada masyarakat luas tentang standar pangan dalam Islam, yaitu halal, tayib, dan aman. Edukasi dilakukan melalui berbagai media, lembaga layanan kesehatan, dan tayangan edukatif yang menarik.Â
Keempat, mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan dan individu yang melanggar peraturan peredaran obat dan makanan yang sesuai dengan standar halal, tayib, dan aman.
Dengan berbagai kebijakan tersebut, negara telah melakukan tindakan preventif/pencegahan sebagai cara untuk memastikan bahwa obat dan makanan yang aman, halal, dan tayib terpenuhi bagi masyarakat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H