Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Minyak Melimpah tapi Mahal Harganya, Kok Bisa?

14 Agustus 2024   20:49 Diperbarui: 14 Agustus 2024   20:50 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini disebabkan oleh fakta bahwa pemerintahan kapitalistik memiliki kapasitas yang sangat besar untuk menetapkan aturan sesuai keinginan mereka. Seperti yang ditunjukkan oleh Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat, harga HET MinyaKita sebesar Rp14.000 per liter masih dapat diubah sesuai dengan aturan HET yang baru. Untuk mengganti suatu kebijakan, aturannya dapat diubah dan direvisi. Mengubah aturan untuk kepentingan terselubung adalah ciri khas pemerintahan kapitalis.

Kedua, pemerintahan kapitalis selalu menghitung untung rugi dengan rakyatnya. Kenaikan biaya produksi dan efeknya terhadap nilai tukar rupiah adalah alasan yang disebutkan pemerintah. Seolah-olah pemerintah telah mempersiapkan apa yang akan terjadi jika biaya produksi naik dan nilai tukar rupiah melemah, yang dapat memengaruhi harga distribusi minyak goreng. Seakan tidak ingin rugi, seluruh hitungan kerugian tersebut telah disiapkan dan dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan HET minyak goreng.

Ketiga, negara tidak memiliki peran dalam mengelola sawit, baik dalam hal produksi maupun distribusi. Besarnya peran swasta dalam manajemen sawit sangat memengaruhi rantai pasokan minyak goreng dan distribusinya. Dan akibatnya, tentu rakyat yang akan menjadi korban.

Ditinjau dari aspek produksi, perusahaan swasta memiliki mayoritas kepemilikan lahan sawit di Indonesia dengan total 7,7 juta ha (54% dari keseluruhan luas lahan kelapa sawit di Indonesia). Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa jumlah total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta ha pada tahun 2023. Dari total lahan tersebut, sebesar 50,1% atau 8,4 juta ha dimiliki oleh swasta. Lalu, 37% nya (6,3 juta ha) adalah perkebunan rakyat, 3% (0,57 juta ha) adalah perkebunan besar negara, dan 9% (1,5 juta ha) adalah lahan yang belum dikonfirmasi. Kebun sawit milik swasta juga mengalami pertumbuhan tercepat selama sepuluh tahun terakhir.

Pada tingkat distribusi, dominasi perusahaan swasta dalam produksi minyak sawit berdampak pada rantai distribusi minyak goreng. Penguasaan perusahaan swasta membuat perjalanan distribusi minyak menjadi lebih panjang dan lama sehingga harga minyak pun menjadi lebih mahal. Minyak didistribusikan dari produsen ke distributor, yang kemudian didistribusikan melalui agen-agen lokal, dan akhirnya sampai ke reseller hingga mencapai pembeli tingkat akhir, yaitu konsumen. Berapa biaya operasional dan pengiriman yang diperlukan untuk mendistribusikan minyak goreng kemasan ke pasar kontemporer dan konvensional? Sudah jelas bahwa ini akan membutuhkan biaya yang lebih besar.

Jika negara mengambil alih pengelolaan sawit, maka tentu semuanya akan berbeda. Negara akan mendistribusikan pasokan minyak goreng kemasan dengan biaya yang minimal dan tidak akan membebankan biaya operasional distribusi kepada rakyat. Sementara itu, pihak swasta tidak akan pernah mau rugi dengan menanggung biaya distribusi secara cuma-cuma jika pengelolaan sawit diserahkan kepada mereka. "Tidak ada makan siang gratis" adalah ciri khas sistem kapitalisme yang kini tegak di negeri ini.

Jika kita kembalikan pada aturan Islam, negara seharusnya memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan cara yang mudah dan murah. Negara akan menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sawit di seluruh aspek, baik produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam hal produksi, negara akan menetapkan kebijakan seperti berikut.

Pertama, setiap orang berhak untuk memiliki tanah, asalkan tanah tersebut bukan terkategori milik umum. Kawasan hutan merupakan milik umum sehingga haram untuk dikuasai individu atau kelompok tertentu. Namun, dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini, pemindahan lahan hutan menjadi perkebunan sawit telah dilegalkan secara membabi buta. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, seluas 278.000 ha hutan telah dikonversi menjadi perkebunan sawit, menyebabkan emisi dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan total cadangan karbon yang hilang sebesar 34,7 juta ton, atau 127 juta ton emisi karbondioksida.

Islam melarang tindakan yang dapat merusak alam. Termasuk juga mengalihfungsikan tanah milik umum menjadi kebun milik swasta atau siapapun yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. "Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, dan memburu kambing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya," pesan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tsauban, seorang khadim Rasulullah Saw.

Kedua, pemerintah dapat memberikan status tanah mati kepada individu yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan atau mengelola tanah tersebut. Tanah mati ialah tanah yang telah dibiarkan atau tidak dikelola oleh pemiliknya selama 3 tahun. Ini memberikan kesempatan bagi pencari nafkah untuk menanami atau mengelolanya menjadi kebun sawit atau lahan pertanian lainnya.

Ketiga, negara memberikan sarana pertanian yang murah dan dapat memudahkan petani, termasuk para petani sawit dalam memenuhi kebutuhan pertanian mereka. Saat ini, petani sawit sangat dirugikan oleh penguasaan lahan sawit oleh swasta. Jika negara berperan aktif dalam pengelolaan sawit, harga TBS (tandan buah sawit) akan stabil dan korporasi tidak akan dapat mempermainkan para petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun