Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Naiknya Biaya Haji, Kapitalisasi Ibadah?

30 Januari 2023   08:11 Diperbarui: 30 Januari 2023   08:17 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Haydan As-soendawy dari Pexels

Negara Arab Saudi telah menurunkan paket layanan haji 1444 H sekitar 30% dari harga tahun sebelumnya. Menurut Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, penurunan paket haji itu juga sudah diperhitungkan dalam usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M yang disusun pemerintah. 

Namun, Kemenag justru mengusulkan kenaikan BPIH tahun ini dibanding 2022. Hilman menjelaskan, hal itu terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BiPIH) dan nilai manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70% BiPIH dan 30% nilai manfaat.

Kenaikan biaya haji yang kian melangit ini menimbulkan berbagai pro dan kontra. Sebagian masyarakat menilai ini adalah hal yang wajar seiring meningkatnya pelayanan dan komersialisasi haji oleh pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang memberikan komentar negatif. Di tengah keinginan kuat kaum muslim untuk menunaikan ibadah haji, muncul berbagai pertanyaan, ke mana dana umat? 

Perhitungan kenaikan biaya haji berawal dari kian panjangnya antrean para jemaah haji yang telah terdaftar. Merujuk data dari Kemenag, jumlah pendaftar setiap tahunnya mencapai angka 5,5 juta. Jika jumlah tersebut dibagi dengan kuota normal per tahun yakni 221.000, terlihat bahwa masa tunggu haji rata-rata mencapai 25 tahun. Dalam rentang waktu ini, dana haji yang telah disetor calon jemaah berada di bawah pengelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

Mengutip dari buku elektronik Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH, sebelum BPKH, pengelolaan dana haji menjadi tanggung jawab Kemenag. Akan tetapi, setelah pengelolaan dana haji beralih pada BPKH, alokasi investasi menjadi lebih luas. 

Berdasarkan peraturan baru itu, investasi keuangan haji dapat melalui berbagai bentuk instrumen investasi yakni surat berharga syariah, emas investasi langsung, dan berbagai investasi lainnya.

Masalah mendasar dalam pengelolaan dana haji dan penyelenggaraan haji saat ini terletak pada spirit bisnis. Spirit ini hadir di tengah tingginya keinginan masyarakat untuk menjalankan ibadah haji. Sebagai salah satu rukun Islam, kaum muslim yang mampu akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankannya. 

Namun sayangnya, lensa kapitalisme hadir, bahkan pada saat umat muslim mengazamkan niat suci untuk mengunjungi Tanah Haram. Prinsip-prinsip pengelolaan dana haji pada akhirnya penuh dengan spirit kapitalisme. 

Mengapa? Hal ini dikarenakan dalam prinsip kapitalis, dana yang besar tidak mungkin dibiarkan menganggur begitu saja. Keinginan untuk melakukan ibadah haji, ditambah dengan adanya naluri bisnis kapitalis, sangat ampuh untuk menjadi bahan bakar dalam menjalankan prinsip-prinsip investasi. Inilah yang menjadi akar utama masalahnya.

Terlebih lagi, wewenang BPKH dalam UU 34/2014 menetapkan bahwa dalam pengelolaan dana haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Dampaknya yaitu terjadi hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana ini. Walhasil, naiknya biaya haji bukan semata akibat kurs rupiah, tetapi merupakan konsekuensi dari spirit bisnis yang hadir di sini.

Padahal, berdasarkan aturan Islam, prinsip-prinsip pengembangan harta sesungguhnya bersifat khas. Prinsip dasarnya yaitu seorang pemilik harta (shahibul maal) dapat mengembangkan hartanya melalui kerja sama dengan pengelola harta (mudarib). Investasi dana para jemaah jelas tidak sesuai dengan prinsip pengembangan harta dalam Islam. Hal ini membuat maqashid syariah (terwujudnya manfaat bagi umat) dalam pengelolaan dana para jemaah menjadi kabur dan tidak tercapai.

Agar pengelolaan dana haji transparan dan sesuai dengan biaya riil, harus diurai terlebih dahulu pengaturan kuota haji per tahun dan tata kelola yang berorientasi pada prinsip pengurusan urusan umat. Oleh karenanya, masalah panjangnya antrean adalah masalah yang wajib pemerintah urai. Caranya yakni dengan menyediakan kuota yang realistis.

Saat ini, mengularnya antrean jemaah setiap tahun terjadi akibat pemerintah yang terus menerima setoran dana awal jemaah. Pemerintah juga memberikan fasilitas berupa mudahnya setoran awal dengan digit yang kian ringan. Maka, menjadi hal yang wajar jika antrean bisa mencapai puluhan tahun. Ditambah lagi dengan adanya sistem pembagian haji khusus dan reguler. 

Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan prinsip syariat secara mendasar bahwa wajibnya haji adalah sekali seumur hidup. Pemerintah juga harus melakukan edukasi bahwa ibadah haji berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan. InsyaAllah, dengan tata kelola yang baik, negara akan mampu memfasilitasi setiap warganya untuk menjalankan ibadah haji.

Mengenai tata kelola, termasuk di dalamnya adalah biaya untuk menunaikan ibadah haji, biaya keberangkatan, biaya hidup, pelayanan selama menjalankan ibadah, hingga kembali ke tanah air, hendaknya sesuai dengan biaya riil. Maka, pemerintah perlu memastikan kuota sesuai target per tahun. 

Namun faktanya, pemerintah justru membiarkan pendaftaran para jemaah terus mengular hingga waktu tunggu yang mencapai puluhan tahun. Berdasarkan hal itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat. 

Di sisi lain, pemerintah juga harus paham bahwa peruntukan dana haji bukanlah untuk investasi atau bahkan melakukan pengembangan. Hal tersebut dilarang dalam Islam walaupun dengan dalih memperhatikan aspek kehati-hatian guna mewujudkan maqashid syariah sebagaimana saat ini.

Kondisi pemerintah saat ini sangat jauh berbeda dengan kondisi penguasa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Ketika sistem pemerintahan Islam berdiri, maka seluruh negeri muslim adalah satu kesatuan. Tidak boleh ada komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun karena Tanah Haram adalah tanah seluruh kaum muslim. 

Di sinilah urgensi memperjuangkan pengembalian sistem pemerintahan Islam (kekhalifahan Islam). Khilafah akan menyelenggarakan ibadah haji sesuai syariat Islam, melakukan pelayanan maksimal kepada para jemaah, membangun infrastruktur, serta menyediakan berbagai fasilitas sebagai bentuk riayatusy syu'unil ummah. Prinsip syariat yang dijalankan oleh Khilafah meniscayakan penyelenggaraan ibadah haji akan efisien dan berkah bagi seluruh umat Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun