Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah salah satu jenis pajak yang paling umum dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat melakukan transaksi jual-beli. PPN merupakan pajak yang ditanggung oleh konsumen. Kewajiban perpajakan mulai dari menghitung, menyetor, dan melapor dilakukan oleh penjual yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga merupakan  pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. PPN menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara, yang memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan dan penyediaan layanan publik.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pasal 25
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia yang mengatur mengenai pembayaran angsuran pajak secara berkala oleh wajib pajak, baik perorangan maupun badan. Kenaikan tarif PPh Pasal 25 menjadi isu penting yang mencerminkan perubahan kebijakan fiskal pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dan mengoptimalkan pembiayaan pembangunan. Artikel ini membahas mengenai dampak kenaikan tarif PPh Pasal 25 terhadap wajib pajak, baik dari segi beban kewajiban perpajakan maupun dampaknya terhadap perekonomian secara umum. Penelitian ini juga mengulas berbagai aspek teknis terkait implementasi perubahan tersebut, termasuk ketentuan terbaru yang mengatur cara perhitungan dan pelaporan angsuran PPh Pasal 25. Selain itu, artikel ini juga mengidentifikasi tantangan dan solusi yang dapat dihadapi oleh wajib pajak dan otoritas pajak dalam mengimplementasikan perubahan tarif tersebut. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diharapkan kenaikan tarif PPh Pasal 25 dapat berkontribusi pada peningkatan keseimbangan fiskal negara, namun juga perlu diimbangi dengan upaya peningkatan kepatuhan pajak dan peningkatan kualitas pelayanan administrasi perpajakan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pasal 25 di Indonesia mengatur tentang kewajiban pengusaha untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang atas transaksi jual beli barang dan/atau jasa yang dilakukan. Namun, meskipun PPN Pasal 25 merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara, terdapat sejumlah permasalahan yang perlu diperhatikan dalam implementasinya. Beberapa permasalahan tersebut berkaitan dengan aspek administratif, teknis, dan kepatuhan dari wajib pajak yang berpotensi menghambat efektivitas pengumpulan pajak dan berdampak pada penerimaan negara.Â
Dampak Kenaikan PPN Pasal 25 terhadap Pedagang Kaki Lima
Kesulitan Penghitungan dan Pelaporan PPN Pasal 25Â
Salah satu permasalahan utama yang sering dihadapi oleh pengusaha dalam PPN Pasal 25 adalah kesulitan dalam melakukan penghitungan dan pelaporan pajak secara tepat. PPN Pasal 25 mengharuskan pengusaha untuk menghitung pajak yang terutang berdasarkan transaksi yang terjadi dalam suatu periode tertentu dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Namun, banyak pengusaha yang kesulitan dalam menentukan nilai pajak yang harus dilaporkan, terutama bagi pengusaha yang memiliki volume transaksi tinggi dengan berbagai jenis barang dan jasa. Hal ini sering menyebabkan keterlambatan pelaporan atau kesalahan dalam penghitungan PPN yang dapat berujung pada sanksi administrasi atau denda.Â
Kompleksitas Administrasi PajakÂ
Peraturan mengenai PPN Pasal 25 mencakup berbagai ketentuan yang membutuhkan pemahaman mendalam terkait dengan kewajiban pajak, pengeluaran faktur pajak, dan kewajiban perpajakan lainnya. Meskipun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengembangkan berbagai sistem pelaporan elektronik seperti e-Faktur dan e-SPT, pengusaha, khususnya UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), seringkali mengalami kesulitan dalam memanfaatkan teknologi tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai kewajiban administrasi atau keterbatasan akses terhadap infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pelaporan yang tidak akurat dan penghindaran kewajiban perpajakan.Â
Tingkat Kepatuhan yang RendahÂ
Kepatuhan pengusaha dalam memungut dan menyetor PPN Pasal 25 masih menjadi tantangan yang besar. Sebagian pengusaha, terutama yang bergerak di sektor informal, terkadang tidak sepenuhnya memahami kewajiban perpajakan mereka atau bahkan sengaja menghindari kewajiban pajak untuk mengurangi beban operasional. Faktor-faktor seperti tingkat literasi pajak yang rendah, pengawasan yang kurang intensif, dan kompleksitas administrasi perpajakan, sering menjadi alasan utama rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Hal ini tentu berdampak pada penurunan potensi penerimaan negara yang seharusnya dapat diperoleh dari sektor PPN.Â