Rasulullah saw. pernah bersabda, "Ingatlah bahwa jalan ke surga itu penuh dengan rintangan dan tanjakan, sedangkan jalan ke neraka itu mudah dan landai".
Demikianlah hal yang mengilhami penulis kitab fenomenal Ihya Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali untuk kembali membuat menulis sebuah kitab yang diberi nama Minhajul 'Abidin.
Dalam bahasa Arab, kata an-Nahju, al-Manhaju, dan al-Minhaju memiliki makna jalan yang terang dan jelas. Sebagaimana harapan bahwa kitab ini akan mampu menjadi pedoman pendamping bagi umat muslim agar senantiasa berusaha dan tidak pernah menyerah dalam mencapai kebahagiaan hakiki yaitu surga. Kitab dengan judul lengkap Minhaj al-'Abidin ila al-Jannah Rabb al-'Alamin ini berisikan tentang tata cara menempuh perjalanan menuju akhirat dengan berbagai macam jalan, seperti jalan ibadah sebagai buah dari ilmu, jalan ketaatan, dan metode mencapai surga.
Berbeda dengan karya sebelumnya, Ihya Ulum ad-Din, kitab ini lebih memfokuskan pada praktik. Secara garis besar, kitab ini memuat hadis sahih dan hasan. Menurut sebuah riwayat, beliau secara khusus mempelajari kitab hadis Shahih al-Bukhari dan beberapa kitab hadis lainnya sebagai rujukan dalam pembuatan kitab ini.
Lebih jelasnya, kitab ini membahas perihal jiwa manusia beserta sifat dan obatnya, entah yang berkaitan dengannya ataupun yang mengaitkannya dengan kecenderungan keburukan dan dosa. Beliau memberikan pandangan baru dalam teorinya yang moderat perihal tasawuf Islam yang berbeda dengan pemikiran yang dimunculkan oleh para sufi seperti wahdat al wujud dan panteisme. Beliau menciptakan batasan-batasannya sendiri dalam ilmu tasawuf yang diambil dengan sangat teliti dan hati-hati. Dengan pemikirannya tersebut, beliau ingin agar sunah dan idealisme menjadi dua hal yang dekat.
Al-Ghazali menggunakan istilah 'aqabah yang memiliki arti "jalan yang sukar ditempuh". Beberapa orang menafsirkan kata 'aqabah dalam buku ini dengan metode atau rintangan. Ada tujuh 'aqabah yang dapat menghambat kualitas ibadah dan komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tujuh jalan inilah yang harus ditempuh oleh seorang hamba apabila ia ingin meningkatkan kualitas ibadahnya kepada Allah dan menggapai kebahagiaan hakiki berupa surga Allah.
Tujuh 'aqabah tersebut di antaranya adalah ilmu dan ma'rifat, taubat, penghalang/godaan ('aqabah al-'awa'iq), penghadang/rintangan ('aqabah al-'awaridh), pendorong ('aqabah al-bawa'its), pencemar/celaan ('aqabah al-qawadih), dan terakhir adalah pujian dan syukur kepada Allah swt.
Kitab ini ditulis oleh Imam al-Ghazali dua tahun sebelum wafatnya, yaitu antara tahun 504 H-505 H. Tidak hanya diperuntukkan oleh para ahli, al-Ghazali sengaja menulis kitab ini dengan penjelasan yang lebih ringan agar bisa dibaca oleh semua kalangan.
Dengan dilatarbelakangi pemikiran bahwa dirinya perlu untuk memikirkan ciptaan Allah secara menyeluruh dan bukan hanya golongan tertentu (merujuk pada kitabnya dengan tema yang sama berjudul Al-Qurbat ila Allah dan Asrar al-Muamalat yang tidak mudah dipahami orang awam), beliau kemudian mencari dalil-dalil ijma' dan mulai menyusun kitab Minhajul 'Abidin ini dengan kalimat-kalimat sederhana dan menyenangkan. Tujuannya tak lain hanyalah agar kitab ini dapat dipahami oleh berbagai golongan dan bermanfaat bagi yang mau merenungkannya.
Seperti doa beliau, "Dengan segala kerendahan hati, saya memohon kepada Sang Penguasa seluruh makhluk dan segala urusannya untuk mencukupiku dalam menyusun kita yang bisa digunakan oleh semua golongan dan tidak ditentang oleh siapa pun".
Buku ini sangat baik untuk dibaca, dipahami, diresapi, dan direnungi. Tidak hanya dapat memperbaiki kualitas ibadah, buku ini juga bisa menjadi sebuah 'tamparan' untuk kita yang terkadang masih sering menyepelekan ibadah atau bahkan---naudzubillah---meninggalkannya hanya demi kepentingan dunia semata. Sudah sepatutnya juga kita terus belajar memperbaiki diri untuk mengejar ridha Allah swt. Seperti kutipan Imam al-Ghazali berikut,