Mohon tunggu...
Nissa Nur Awaliyah
Nissa Nur Awaliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Impor Garam, Bagaimana Nasib Petani Garam Indonesia?

25 April 2021   13:30 Diperbarui: 25 April 2021   13:32 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://aktual.com/stok-garam-banyak-dfw-petani-tambak-heran-sikap-pemerintah-buka-keran-impor/

Kata maritim begitu lekat dengan Indonesia. Seperti yang kita ketahui Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas perairan mencapai 6,4 juta kilometer. Jika dilihat dari luas lautannya, maka seharusnya kita mampu untuk mencukupi permintaan pasokan garam dalam negeri. Jadi, apakah sebenarnya kita belum mampu memproduksi garam lokal? Lantas, mengapa muncul kebijakan pemerintah mengimpor garam dari luar negeri?

Kebijakan pemerintah untuk mengimpor garam selalu menuai pro kontra. Selain itu, terjadi kontroversi tidak sinkronnya data. Hal tersebut dapat dilihat dari rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 3,07 juta ton. Pasalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri hanya merekomendasikan mengimpor sebanyak 2,2 juta ton. Sebab, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  menjadi instansi yang merekomendasikan impor dan melakukan pembinaan kepada petani garam, dengan instansi yang  bersentuhan langsung terhadap industri dan pelaku pasar.

Banyak pihak menduga Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian lebih berpihak kepada pelaku pasar dan industri, dibandingkan melindungi para petani garam lokal.

Amin Abdullah selaku Dewan Presidium Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) memberikan pernyataan, bahwa sejak lama pemerintah tidak pernah serius untuk berpihak dan melindungi para petani garam.

Setiap tahun impor garam selalu berulang. Pada tahun 2017 tercatat mengimpor garam mencapai 2,55 juta ton, 2,39 juta ton pada tahun 2018. Diketahui pula sejak Januari hingga Oktober 2019 Indonesia mengimpor garam mencapai 1,95 juta ton seharga Rp 1 Triliun.  Seharusnya pemerintah bertindak mengambil langkah panjang untuk kedaulatan garam nasional. Hal ini berpengaruh besar bagi kesejahteraan hidup petani garam nasional.  

Menurut Kementerian Perdagangan, kualitas dan kuantitas garam nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri.  Sedangkan Ono Surono selaku Anggota Komisi IV DPR RI menyatakan, akan mengawasi impor garam yang dilakukan pemerintah, supaya kebijakan tersebut tidak memberatkan petani garam lokal.

Namun, hingga kini  pemerintah belum memiliki kebijakan yang jelas, sehingga impor garam akan terus berulang. Jika data saja bermasalah, dan tidak sinkron, bagaimana dengan memikirkan strategi untuk pengembangan produksi garam jangka panjang. Sebaiknya peningkatan produksi perlu dilakukan dengan melibatkan produsen garam lokal.

Bagaimana Nasib Petani Garam Lokal?

Persediaan garam melimpah akibat belum diserap pasar, anjloknya harga, menjadikan kebijakan mengimpor garam tahun ini sebagai paradoks. Keadaan petani kian terpuruk. Harga yang anjlok tahun ini membuat para petani mengurungkan niat untuk memproduksi garam .

Di Sidoarjo, Jawa Timur, petani baru saja memanen garam dan memindakannya ke sentra produksi garam. Namun ternyata pemerintah malah berencana mengimpor garam. Bagi petani, kebijakan mengimpor garam membuat nasib mereka terpuruk serta merasa cemas, sebab berpeluang garam-garam mereka terserap pasar semakin kecil. Tidak haya sampai disini, impor garam juga dapat menjatuhkan harga garam lokal. 

Kecemasan para petani pun bertambah, terlebih lagi dengan adanya wabah pandemi Covid-19 yang melengkapi penderitaan petani. Berbicara mengenai harga garam yang diterima beberapa perusahaan tidak mencukupi kesejahteraan hidup. Petani sudah berupaya keras untuk meningkatkan kualitas garam produksi mereka. Sayangnya, upaya tersebut belum membuahkan hasil. Walaupun kualitas garam meningkat, bila dihitung dari biaya produksi hingga tahap akhir, hanya dihargai Rp 50.000,00 per ton.

Pada akhirnya, Sumber Daya Alam (SDA) yang Indonesia miliki belum mampu memenuhi standar kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Faktor lainnya terjadi penyusutan lahan garam, teknologi yang masih minim, prosesnya masih mengandalkan sinar matahari, dan faktor lingkungan lainnya. Sebab, luasnya lautan Indonesia tidak menjadi jaminan bahwa Indonesia memiliki hasil produksi garam yang melimpah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun