Sejak dulu hingga sekarang, korban kekerasan selalu didominasi oleh perempuan. Menurut data KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), sejak awal tahun telah tercatat sebanyak 21.037 kasus kekerasan di Indonesia dengan 18.027 korban perempuan.Â
Satu hal yang begitu mengejutkan adalah, data terkait lingkup kekerasan tersebut. Data mencatat, bahwa mayoritas pelaku berasal dari lingkup rumah tangga sekitar 60%. Hal ini jelas menunjukkan besarnya indikasi kekerasan dapat terjadi di dalam rumah. Rumah yang seharusnya melindungi perempuan, tempat yang konon katanya aman dan menjamin keselamatan para perempuan. Kenyataannya, bahkan ruang pribadi seperti rumah sekalipun tidak menjamin keamanan bagi individu bergender perempuan. Â
Apabila perempuan tidak mendapatkan keamanan di rumahnya sendiri, lantas bagaimana dengan lingkup yang  sedikit lebih luas? Apakah hubungan pertemanan dan kenalan menjamin perempuan mendapat rasa aman? Sayangnya tidak. Kenyataannya, kebanyakan pelaku adalah orang yang mengenal korban secara langsung dari berbagai macam hubungan. Pelaku bisa datang dari keluarga, pertemanan, bahkan hubungan romansa sekalipun. Semua hubungan yang berkaitan erat dengan para perempuan. Â
Antara Kendali, Stereotip, dan Kekerasan pada Perempuan
Kendali yang dimiliki pelaku atas korban adalah penyebab utama terjadinya kekerasan. Hal ini dijelaskan pada situs Southern Connecticut State University, bahwasanya penyebab utama seseorang melakukan kekerasan adalah keberadaan kekuatan yang dimiliki terhadap korban. Pernyataan tersebut terbukti benar melihat maraknya kasus kekerasan yang terjadi dewasa ini. Seorang guru melakukan kekerasan terhadap muridnya, manajer kepada pekerjanya, bahkan suami kepada istrinya. Pola-pola tersebut menunjukkan bagaimana kekerasan yang timbul karena adanya kekuatan dan kendali para pelaku. Kendali tersebut yang kemudian digunakan untuk merendahkan manusia lainnya dan berujung pada kekerasan.Â
Selain kendali dan kekuatan, kekerasan juga merupakan dampak buruk dari adanya stereotip gender yang berlaku di masyarakat. Anggapan bahwa wanita bersifat lemah dan inferior menjadikan pelaku merasa memiliki wewenang atas korban. Stereotip bahwa perempuan adalah individu sekunder menjadikan mereka menganggap dirinya berkuasa atas perempuan.
Lantas, Di Manakah Ruang Amannya?
Ruang aman berarti setiap tempat di mana sang pelaku absen di dalamnya. Namun sayangnya, pelaku kekerasan dapat muncul dari arah mana saja. Mereka dapat hadir di antara ruang publik yang ramai, di balik ruang bekerja yang profesional, bahkan di dalam ruang kamar yang 'aman'. Lantas, kemana seharusnya perempuan pergi berlindung?Â
Perempuan tidak akan bisa berlindung sejauh apa pun mereka mencarinya. Jika pelaku tidak kunjung mengerti nilai perempuan sebagai individu, masih merasa punya kendali, dan masih menganggap perempuan 'lemah', apabila hal ini masih terjadi, selamanya tidak akan ada ruang aman bagi perempuan di atas muka bumi.Â
Bukanlah perempuan yang seharusnya berlari untuk melindungi diri. Bukan juga perempuan yang mesti mencari tempat aman untuk bersembunyi. Namun, dunialah yang mestinya benar-benar dibenahi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H