"Aku ingin menghilang dari mereka berdua, semudah kamu meninggalkanku." Itu yang ingin kukatakan pada seseorang yang tak pernah lagi bisa kuhubungi, tepatnya aku yang telah menghapus segala hal yang berhubungan dengannya. Semua berawal dari candaan dan aku ingin mengakhirinya tanpa menimbulkan masalah, seperti dia yang bercanda ketika awal berkenalan.
Tahu kah kamu? Pikiranku kini berubah dan mulai kembali sadar akan sesuatu, sampai saat ini pun aku tetap mengelak. Aku tak mau menerima kenyataan bahwa sebenarnya aku pun pernah merasakan apa yang sudah seharusnya dirasakan oleh manusia. Logikaku selalu saja menentang setiap rasa yang muncul dari dalam diriku. Pada akhirnya, perasaanku terbiasa untuk disepelekan dan tertekan tanpa pernah sekalipun muncul sepenuhnya.
Aku sadar, hal itu salah. Dan aku tahu, apa yang selama ini kulakukan memang menyakiti diriku sendiri secara perlahan. Bahkan meski begitu, aku tak pernah membiarkan air mataku jatuh dan berlinang sepuasnya. Apakah di sini sepenuhnya atas inginku? Atau ada unsur lain yang ternyata membuatku sesakit ini?
Setiap situasi yang terjadi, kenapa semua perasaanku mudah sekali untuk kusimpan rapat, mudah juga untuk ku keluarkan. Tapi tak semudah itu mengembalikan pandanganku akan lingkungan sekelilingku. Kali ini aku merasa seolah terkunci dalam ruang dimensi lain, merasa asing namun ini adalah tempat yang sama di mana aku biasa tinggal.
"Takdir akan menemukan jalannya." Jawaban Willy yang membuatku sedikit lebih tenang. Dia menjawab itu untuk hal lain yang kuanalogikan dengan topik pembahasan kesukaannya, dan balasan itu sedikit banyak menjadi poin penting yang perlu kuperhatikan. Lantas biarlah esok hari memulihkan segala keresahan hati ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H