Langit biru yang cerah ditemani dengan burung-burung yang berkicauan. Laut dengan ombak sedang, membuat perahu terombang-ambing. Desiran angin yang menyejukkan.Â
Sebuah perahu berlayar di atas permukaan laut, dengan seorang laki-laki di dalamnya. Memandang kagum pada laut dan langit.
Abima Arghibayu. Remaja laki-laki yang selalu bersama laut selama ia hidup. Laut memiliki banyak kisah dan rahasia didalamnya yang membuat ia selalu penasaran dengan semua tentang laut.Â
"Bima! Ibu sudah di jalan pulang, ayo balik!! " Teriakan tersebut berasal dari tepi pantai. Orang yang dipanggil dengan nama Bima itu menoleh, ternyata yang memanggilnya adalah kakak laki-lakinya, Chandra.Â
Bima mendayung ke tepi pantai dan langsung menyembunyikan perahunya di dekat tumpukan pohon kelapa. Lalu berlari menuju sang kakak yang terlihat panik.Â
"Kenapa, mas? Pucat begitu mukanya, hahahaha, " Bima menunjuk-nunjuk wajah milik Chandra sembari tertawa. Tangannya langsung di tepis oleh Chandra dengan raut wajah kesal.Â
Setelah mengatur nafasnya, Chandra mulai mengomeli saudaranya. "Kamu itu, dek. Kan mas udah bilang, ibu nggak suka kamu main-main di laut, nakal banget, mas cape nyariin kamu, kalau ibu pulang lalu kamu nggak ada di rumah yang dimarahin mas loh, dek."
Bima terkikik geli melihat kakaknya, "Udah, mas? Mas kalau ngomel gitu udah kayak Bu Sari yang sering marah-marah di warungnya, kenapa mas nggak nyoba lamar kerja disana, cocok deh, mas. "Â
Chandra hanya tersenyum sabar, "Udahlah, ayo pulang, bahaya kalau ibu pulang kitanya nggak ada di rumah." Bima membalas dengan anggukan semangat.Â
Benar saja, beberapa menit setelah Bima dan Chandra sampai di rumah, ibu datang dengan membawa belanjaannya. Chandra yang menyadari bahwa ibunya telah sampai langsung membuka pintu kayu dengan corak kunonya.Â
"Terimakasih, mas, " ibu tersenyum manis ke arah Chandra, lalu berjalan menuju dapur. Rumahnya ini tidak terlalu luas, terbuat dari kayu dan bambu dengan lantai tanah. Mereka bukanlah keluarga berada, tapi mereka tetap bersyukur dengan apa yang ada.Â
Saat makan siang, mereka bertiga berkumpul di meja makan. Memakan makanannya dengan tenang. Masakan ibu hari ini sama seperti hari-hari biasanya, tahu, tempe, kangkung dan ikan.Â
"Oh iya, mas, ibu tadi di pasar dengar-dengar ada yang nyari pekerja, bantu angkat barang, tapi gajinya lumayan, kamu kan lagi nyari kerja, mau nggak? " Ibu membuka bicara.Â
"Loh? Mas kenapa nggak kuliah aja, bu? Kemarin pas mas lulus SMA, dia dapat nilai tertinggi dan nilainya bagus-bagus semua. " Bima menatap heran ibunya.Â
Chandra membalas,"Mas nggak tertarik buat kuliah bim, mas kerja aja, buat makan kamu sama ibu dan keperluan kita nantinya, kalian berdua itu tanggungjawab mas semenjak bapak nggak ada."
Bima mengerutkan keningnya,"Kalau gitu, Bima juga mau kerja! " Chandra dan ibu sontak menggelengkan kepala mereka.Â
"Bim, kamu itu masih 15 tahun, udah fokus aja sama sekolahmu itu!" Ucapan Chandra di setujui oleh sang ibu.Â
"Aku nggak perlu sekolah, aku bisa ngelaut dan nangkep ikan, aku bisa jual ikan-ikan yang aku tangkap! " Dengan nada sedikit tinggi, Bima menatap kesal kakaknya.Â
"NGGAK! nggak ada laut-lautan, Bima! Ibu nggak suka!" Bentak ibu dengan tatapan marah, kesal dan... khawatir?Â
"Kenapa, bu? Aku suka laut dan ibu tau itu, kalau ibu nggak suka kenapa kita tinggal di dekat pantai? " Chandra hanya mendesah lelah mendengar ucapan Bima, adiknya terlalu keras kepala.Â
"Kalau ibu bilang tidak, ya tidak Bima, udah habiskan makananmu! " Ibu berusaha menetralkan emosinya.Â
"Karena bapak ya, bu? " Diam.. semua terdiam, "Bu, aku itu beda sama bapak, aku bisa, aku nggak akan ninggalin ibu kayak bapak! " lanjut Bima.Â
"Cukup ya Bima! Ibu nggak mau denger apapun tentang laut dan kalau ibu bilang tidak itu ya tidak, kamu bisa paham nggak sih?!! "Ibu berdiri dari duduknya dan pergi menuju kamar. Begitu pula dengan Bima, ia pergi ke luar rumah dengan nafas berburu.Â
Chandra masih setia di meja makan menikmati tahu yang tersisa, "Wes nasib... nasib... "
Chandra keluar mencari adiknya, saat seperti ini hanya 1 tempat yang biasa terlintas di kepalanya, pantai. Ia berjalan sembari menyapa orang-orang yang ditemuinya. Benar saja, Bima sedang duduk dibawah pohon di tepi pantai.Â
Chandra menghampirinya dan duduk tepat di sebelah Bima. "Kalau mau ngomel lebih baik jangan sekarang, aku lagi kesal, mas. " Ucapnya langsung saat mendapati Chandra disebelahnya.Â
"Dih siapa yang mau ngomel? Mas itu mau cerita, mau dengar nggak? " Bima menoleh ke kakaknya, "Boleh, mas. " Lalu kembali menatap laut didepannya.Â
Chandra tersenyum menang, ia mulai bercerita "Ada seorang anak kecil yang kehilangan sendalnya di laut, lalu dia menulis di pinggir pantai 'LAUT INI MALING' tak lama datanglah nelayan yang membawa hasil tangkapan ikan yang banyak, lalu dia menulis di pantai 'LAUT INI BAIK HATI' seorang anak tenggelam di lautan, lalu ibunya menulis di pantai 'LAUT INI PEMBUNUH' seorang berperahu dan dihantam badai, lalu menulis di pantai 'LAUT INI PENUH MARABAHAYA' tak lama datanglah seorang lelaki yang menemukan sebongkah mutiara di dalam lautan, lalu dia menulis di pantai 'LAUT INI PENUH BERKAH'. Sementara seisi lautan tak pernah mengeluh. Kemudian datanglah ombak besar dan menghapus semua tulisan di pantai itu tanpa sisa. Maka, dari laut kita belajar jangan risaukan omongan orang, karena setiap orang membaca dunia dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda. Teruslah melangkah, selama kamu di jalan yang baik. " Ia kembali tersenyum dan pergi meninggalkan Bima yang termenung.Â
Ia sadar tentang apa yang kakaknya ceritakan, ia tak bodoh untuk memahami hal tersebut. Bima senang memiliki kakak seperti Chandra.Â
Bima yakin, yang ibunya takuti adalah kehilangan orang tersayang lagi. Karena itu yang perlu ia lakukan adalah meyakinkan sangat ibu, bahwa ia bisa dan mampu. Karena itu mimpinya, maka Bima harus mewujudkannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H