Kucoba untuk mengingat lagi semuanya. Termasuk juga penggalan kejadian aneh yang entah mengapa akhir-akhir ini begitu sering menyergapku.
Ketukan di pintu kembali terdengar, bertepatan dengan kelebatan kejadian di ruang angan. Ketika aku membunuh Pak Lurah Sadikin. Ketika Mbok Minah mati berkali-kali tapi entah mengapa selalu saja mampu untuk terus hidup dan hidup lagi seperti kucing hitam mistis bernyawa tiga belas. Juga ketika dengan entengnya aku mengebiri dr. Zaldi dan Pak Lurah Sadikin, kala mereka hendak merenggut keperawananku.
Tak ketinggalan pula ketika aku bertemu ibuku, Savitri. Dan masih banyak lagi kejadian lainnya, yang tak ingin kuingat namun justru melekat begitu erat dalam ruang memori.
Namun saat ini, di kamarku: Ternyata aku baik-baik saja! Tidak sedang sakit. Juga tidak dalam keadaan baru bangun dari tidur. Tapi mengapa aku benar-benar tidak ingat sedikitpun, kapan terakhir kali aku berada di sini? Di kamar ini?
Ketukan di pintu terdengar lagi. Kali ini diiringi suara bariton yang cemas.
“Sukma, kau belum tidur, Ndhuk?”
Deg, bukankah itu suara ayah?
Jantungku berdegup lebih cepat, mencoba mencerna informasi yang baru saja tiba di otak. Benarkah itu suara ayah?
Ketika pintu terbuka, kudapati ayah berdiri dengan wajah cemas. Tanpa wajah pucat, tanpa darah di sela bibir, juga tanpa ibu dan Lurah Sadikin yang asyik menyantap daging berkuah darah dengan kepala remuknya.
Ternyata ini memang benar ayah, bathinku sambil langsung bersembunyi dalam pelukannya. Dekapan ayah terasa hangat dan penuh kasih seperti dulu.
“Ayah dengar tadi kamu berteriak-teriak, ada apa, Ndhuk?” ayah bertanya lembut. Sebuah pertanyaan amat sederhana yang justru amat sulit untuk kujawab.