Awal bercakap denganmu adalah tentang palmistri
Bukan sulap juga bukan sihir
Namun ini memang takdir
Yang lebih dekat dengan prediksi agar mawas diri
Â
Aku masih ingat, lelaki seperti apa dirimu
Ketika kita pertama kali bersapa hanya berbekal tombol keyboard PC kita
Sama sekali tak ada kontak fisik
Namun entah mengapa kita menjadi begitu ‘klik’
Â
Tak pernah ada rayu yang mendayu-dayu
Tak ada peluk juga harapan muluk
Kau benar-benar sosok terjujur yang dengan setengah mati mencoba menghindari fujur
Tanpa sekat juga tirai, hidupmu terpampang dalam setiap aksara yang kau urai
Â
Dan yang paling aku kagumi darimu
Setiap aksaramu
Setiap goresan penamu
Selalu membawa hikmah walau itu
Hanya seketip atau malah terkadang berketip-ketip
Â
Tak ada satupun karyamu yang tak bermakna
Selesai membacai ku selalu tertegun, bahkan kadang ternganga
Kau begitu memikirkan sesama, ummat, juga makhluk yang lain hingga begitu rupa
Â
Dan ketika Tuhan mengijinkan kita bersama
Aku semakin tahu bahwa
Kau memang ditakdirkan untuk mengasah pena
Demi sesama juga semesta
Â
Ilustrasi di atas mungkin tak cukup mengungkapkan apa yang kurasakan, namun paling tidak itu sebagai gambaran awal, karena memang segala tentangmu tak pernah ada habisnya.
Terus terang saja, saat pertama kali membaca tulisanmu, aku langsung berpikir:
- Tulisanmu berkelas dan tidak main-main, walau kesannya tidak serius, namun makna yang terkandung di dalamnya amat sangat serius.
- Melihat nama penamu, aku seperti pernah mendengar entah dimana, atau di dimensi waktu yang mana, yang sampai sekarangpun aku belum bisa ingat dimana ^_^
- Kisah yang merupakan rangkaian data dan fakta tak mungkin bisa diramu seapik ini bila penulisnya bukan seorang yang ‘ahli’ di bidangnya. Dan data serta fakta tersebut menunjukkan bahwa sang penulis termasuk ‘kaya’ ilmu dan ‘kenyang‘ pengalaman, namun kemudian ada pertanyaan yang menggantung di benakku. Mengapa penulis sekaliber ini tidak berpikir untuk berkarya di ranah yang lebih profesional?
- Dan akhirnya setelah membacai episode-episode panjang di memoarmu, aku tahu alasannya. Namun tetap saja, itu tak membuatku menjadi penggemar beratmu kemudian lari menghindar. T Karena memang aku melihat ada banyak sisi positif yang masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Dan itulah istimewanya, kau selalu berpikir untuk orang lain, tentang bagaimana cara untuk bisa mengoptimalkan potensi demi kemaslahatan sesama.
- Terus terang aku bukan bermaksud mengagung-agungkan sosokmu, sama sekali tidak. Karena jelas sebagai manusia, kau juga mempunyai banyak kekurangan.
Makdarit, mungkin sampai di sini saja suratku ini, karena bila diteruskan mungkin akan berpotensi menjadi lebay, alay dan muluk-muluk, hingga berpotensi mengundang banyak cibiran.
Akhir kata, aku minta maaf bila aku masih belum bisa teratur menulis seperti yang kau harapkan. Semoga selanjutnya akan lebih baik lagi.
From yours,
Na.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H