“Kali ini kau datang untuk melepas kepergian siapa?” tanyanya hati-hati.
“Seorang teman kantor,” ucapku dengan agak bergetar.
Dia memandangku sejenak, kemudian berdiri untuk bersiap melangkah pergi.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanyaku ragu-ragu.
Dia mengangguk pasti sambil tersenyum.
“Apakah kau datang bersama kematian?” tanyaku lirih
Kali ini dia hanya tersenyum, senyum yang amat mendamaikan, kemudian pergi tanpa menoleh lagi.
Dua pekan sudah aku tak bertemu dengannya, kini aku sengaja menunggunya. Sebelum pemakaman ayah dua jam lagi, aku sengaja datang lebih dulu ke bukit kecil ini. Hatiku berdebar, aku tak tau harus berkata apa bila bertemu dengannya lagi.
Teringat lagi apa yang kulakukan semalam, pergi ke kamar ayah untuk membawakan minuman sebelum tidur, segelas cokelat panas. Pagi harinya, tak ada bentakan atau omelan seperti biasanya dari beliau, ya aku tau, karena bisa kupastikan bahwa minuman pengantar tidurku telah benar-benar membawa beliau tidur selamanya. Maafkan aku ayah, aku hanya ingin bertemu dengannya.
Lelaki itu datang dari kaki langit, latar belakangnya adalah cahaya matahari sore yang keemasan. Aku hampir tak bisa bernapas, dia begitu mempesona. Entah siapa dia, yang kutahu pasti kini, bahwa dia datang bersama kematian.
“Kau tampak cantik,” pujinya.