No. 21 Nisrina Sri Susilaningrum
“Lukisan itu hidup,” teriakku kaget.
“Huss...kau norak sekali sih. Lihat tuh, mereka semua menoleh ke arahmu.” Kata Siti dengan setengah berbisik.
Aku baru sadar bahwa aku berada di antara tamu-tamu penting, semua mata tertuju padaku. Setelah memohon maaf sebentar, aku melangkah perlahan menuju ruang sebelah. Rumah ini memang penuh dengan ruangan-ruangan besar, semuanya berperabot mewah. Baru kali ini aku masuk ke rumah besar. Kalau bukan karena open house, mungkin aku tak pernah diperbolehkan menginjakkan kaki di rumah ini.
Acara open house diadakan dalam rangka peringatan hari raya idul fitri. Kami anak-anak panti asuhan Bina Insani, diundang untuk menerima santunan dari pemilik rumah, Prof. Dr. Gondo Prawiro. Kami diijinkan untuk melihat-lihat sekeliling rumah.
“Yat, kamu tadi kenapa sih, pake acara teriak-teriak segala.” Tanya Siti
“Aku bener-bener kaget, Sit. Mata orang yang ada dalam lukisan itu bergerak. Dia mengikuti arah orang lalu lalang di ruangan itu tadi.” Sahutku sungguh-sungguh.
Siti memandangku dengan heran, “kau sungguh-sungguh?” tanya Siti lagi
Aku mengangguk yakin.
“Begini saja, bagaimana kalau kita keliling dulu ke ruangan lain. Melihat lukisan-lukisan yang lain, apakah sama seperti yang kau lihat tadi.” Usul Siti.
Aku setuju, kemudian kami melangkah bersama menuju ruangan yang lain. Kami memilih memisahkan diri dari teman-teman panti, agar kami bisa menikmati lebih banyak keindahan di rumah ini. Mumpung diundang.
Di sebuah ruangan yang mungkin adalah ruang baca, kami menemukan tiga lukisan ukuran besar.
Ketiganya tergantung di atas rak berisi buku-buku tebal.
“Coba kau pandangi matanya, Sit, lukisan yang di sebelah kirimu itu,” kataku
Siti mencoba berkonsentrasi, aku juga melakukannya tapi pada lukisan yang satu lagi. Untuk beberapa saat kami sama-sama hampir berteriak, namun segera sadar dan menutup mulut kami dengan tangan. Perlahan dengan tubuh yang agak gemetar, kami keluar dari ruangan itu.
Hingga acara selesai, gemetar tubuh kami masih terasa. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, sampai-sampai teman-teman agak heran. Tumben si Dayat dan si Siti tak banyak bicara. Namun kami tak peduli, yang ada dalam pikiran kami saat ini hanyalah ingatan tentang lukisan-lukisan dalam rumah itu yang begitu hidup.
Sesampainya di panti, seperti biasa, sebelum tidur Ibu Ratih mengecek kami satu-persatu. Saat itulah kami semua baru menyadari, bahwa Adi telah hilang. Kami semua bingung, tidak biasanya Adi pergi tanpa pamit. Dia adalah anak yang penurut, dan selalu meminta ijin bila ada keperluan. Bu Ratih segera menghubungi Ibu kepala panti, Bu Dini. Bu Dini segera menghubungi Satpam Pak Gondo, apakah ada anak yang tertinggal di sana? Ternyata jawabannya tak ada. Sopir angkot yang membawa kami tadi juga ditanyai, apakah ada anak yang tertinggal di mobil? Jawabannya sama, tidak ada. Akhirnya, Bu Dini menghubungi polisi dan mengabarkan bahwa ada salah satu anak panti yang hilang.
Sekilas dalam benakku teringat tentang lukisan itu. Ya, lukisan aneh yang tersebar di rumah itu. Lukisan yang ‘bernyawa’. Entah mengapa aku agak bergidik, membayangkan wajah Adi terpampang dalam lukisan itu. Tapi aku tak berani mengatakan kecemasanku ini, pun pada Siti.
Sudah sebulan ini Adi menghilang, dan berita di koran maupun televisi tak ada yang menayangkan tentang ditemukannya anak hilang. Yang kudengar malah berita tentang hilangnya beberapa anak dari beberapa panti asuhan lain. Berita itu ada yang terjadi beberapa tahun yang lalu, ada pula yang beberapa bulan terakhir ini. Dan yang paling mencurigakan adalah lokasi hilangnya, mereka diperkirakan hilang sesaat setelah menghadiri undangan di rumah Bapak Prof. Dr. Gondo Prawiro.
Aku masih belum berani mengatakan kecurigaanku ini pada siapapun. Bagaimanapun juga ini menyangkut nyawa. Bila aku salah tuduh, aku akan mencemarkan nama baiknya. Sedangkan bila hal itu benar terjadi, aku tak punya bukti kuat untuk membuka masalah ini.
Aku seorang bocah sebelas tahun yang hanya berbekal prasangka, pasti akan kalah dengan para pembesar itu. Semakin hari, berita itu semakin membuatku cemas. Jangan-jangan korban-korban ini masih akan terus berlanjut? Kemanakah perginya anak-anak sebatang kara itu?
Karena tak tahan tersiksa sendirian, aku mencoba berbicara dengan seseorang. Ya, Siti lah orang yang tepat, pikirku.
“Sit, kita bicara di halaman belakang sebentar ya.” Ucapku dengan sedikit berbisik.
Siti yang baru selesai piket memasak langsung mengangguk. Dia paham bahwa itu berarti percakapan rahasia, tak ada yang boleh tau.
Setelah kami duduk di rerumputan, dia bertanya dengan wajah serius, “Ada apa, Yat?”
“kau masih ingat lukisan di rumah besar itu, Sit?” tanyaku
Siti mengangguk sambil menunggu kata-kataku selanjutnya.
“walaupun sudah kucoba untuk tidak memikirkannya, tetap saja ingatan itu tak mau hilang. Dan sejak pertama kali kita sadar bahwa Adi hilang, entah mengapa pikiranku langsung melayang pada lukisan di rumah besar itu. Aku membayangkan wajah Adi lah yang terlukis di sana.” Ujarku.
“Kau terlalu banyak nonton film, Yat.” Ucap Siti menggodaku.
“Aku serius, Sit.” Ujarku tanpa senyum.
“Ah, kau ini, bagaimana bisa menuduh seseorang tanpa bukti? Apalagi kita belum tahu apakah Adi masih hidup atau tidak, dibunuh atau disiksa. Lha wong mayatnya aja ngga ada.”
“Aku juga bingung, tapi yang pasti, aku benar-benar penasaran dan ingin datang ke rumah itu lagi, Sit. Aku akan membuktikan pada orang-orang bahwa memang ada yang tidak beres dengan rumah itu.”
“Kau gila, Yat. Bisa-bisa kau ditendang sebelum menyentuh halamannya, atau malah digiring ke kantor polisi.”
Pembicaraan itu kami akhiri dengan perasaan yang serba tak menentu.
Namun malam harinya, tekadku sudah bulat. Aku akan menyelidiki sendiri rumah besar itu. Sejak sore aku pamit pada Ibu Ratih untuk pergi ke kota. Sesampainya di rumah besar itu, aku memilih untuk masuk rumah melalui halaman belakangnya. Ternyata ada celah di pagarnya yang cukup bagi tubuhku untuk memasukinya. Sekarang adalah bagian tersulit, karena tak mungkin rumah sebesar ini tak ada CCTV-nya. Aku harus mencari cara untuk masuk ke dalam rumah tanpa disadari oleh pemiliknya.
Aku mengendap-endap menuju belakang rumah. Ternyata pintu garasi belakang masih terbuka. Aku mencoba masuk melalui jalan itu. Rumah ini benar-benar besar, garasinya saja seluas halaman panti kami. Ada sekitar empat mobil berjajar rapi. Aku mencari-cari pintu masuk, dan itu terletak di sudut sebelah kiri. Pintunya setengah terbuka seperti sengaja memberiku jalan masuk.
Rumah yang benar-benar sepi, tak kutemui seorangpun di luar maupun di dalam rumah. Aku meneruskan langkahku, mencari-cari ruangan yang waktu itu. Sepinya rumah ini membuat degup jantungku terdengar amat kencang.
Akhirnya aku sampai di ruangan itu, ruangan yang lebih tepat untuk ruang baca. Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Sepi tak ada orang. Di sudut ruangan terlihat kanvas beserta dudukannya tertutup sehelai kain putih. Kutarik perlahan kain putih itu, dan ternyata wajah yang terlukis di sana adalah...wajahku.
Kupandang lekat-lekat lukisan itu, semakin lama kupandang, semakin terasa ada gaya tarik yang besar untuk masuk ke dalam lukisan. Semakin aku menolak gaya itu, semakin kuat tarikannya. Aku masih tak mengerti, siapakah seniman yang melukis ini? Bukankah aku tak pernah kenal dengan seorang seniman pun? Tapi mengapa lukisan diriku ada di sini?
Semakin aku heran, semakin aku memandangi lukisan itu. Dan itu adalah bencana, karena gaya tariknya tak lagi bisa kutahan. Akhirnya...aku hanya bisa memandang dunia dari sebuah bingkai.
Kompasiana, September ke-10, 2015.
-Karya Ini Orisinil dan Belum Pernah Dipublikasikan-
-Catatan:
Karya ini terinspirasi dari kisah klasik "The Picture of Dorian Gray" karya Oscar Wilde
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H