Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanggapan terhadap Kisah 'Setan yang Membantu Pemuda ke Masjid'

10 Juli 2015   01:26 Diperbarui: 10 Juli 2015   01:26 5991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari pesan moral tersebut, saya melihat peran setan yang mengantarkan ke masjid diabaikan. Dia hanya memandang usaha pemuda tersebut, yang setiap jatuh masih tetap kembali lagi ke masjid. Itu berarti si pemuda mempunyai semangat yang tinggi dan tidak mudah putus asa.

Dalam benak saya, setan merupakan simbol godaan. Apabila godaan tersebut  mengantarkan si pemuda ke masjid, apakah dia dapat dikategorikan sukses/berhasil?

Ini mungkin sama saja ketika kita berangkat ke masjid dengan niat untuk meraih ridlo Allah dengan sholat berjama’ah, namun di tengah jalan bertemu dengan kenalan. Dalam hati kita terbersit sedikit rasa ingin dipuji dan dikagumi (karena kita rajin ke masjid). Benar kita tetap ke masjid, tetap sholat berjama’ah. Namun benarkah kita berhasil?

Mungkin dalam pandangan manusia, ya, kita berhasil. Kita dianggap sebagai manusia sholeh/sholehah, cinta masjid, dll. Namun bagaimanakah dalam pandangan Allah? Kita tidak akan bisa menggapai ridlo-Nya. Karena di tengah perjalanan, hati kita tergoda oleh keinginan untuk dipuji dan dikagumi. Wallohu a’lam.

Apakah dalam kisah hikmah tersebut setan gagal menggoda si pemuda lalu berbalik mendukungnya untuk melakukan ibadah? Ataukah justru setan sangat berhasil mengkerdilkan kesuksesan ibadah si pemuda, yang harusnya jika terus terjatuh dan ngotot tetap berangkat lagi dan lagi menuju ke masjid, maka nilai ibadah si pemuda harusnya kian berlipat ganda hingga wallahu a’lam mampu membuat Allah mengampuni dosa orang-orang sekampungnya?

Sebuah pilihan pesan moral yang jauh lebih masuk akal bukan, kawan…?

Saya bukan bermaksud mengkritisi simpulan hikmah yang tertulis dalam cerita tersebut. Saya hanya menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya sesaat setelah membaca kisah itu. Karena memang manusia mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dan karena perbedaan itulah, manusia dapat menyerap lebih banyak makna kehidupan.

 

Bersama segelas susu dini hari, Juli ke-10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun