Bagi penggemar buku, mungkin event FBF (Frankfurt Book Fair) sudah tidak asing lagi. Event tahunan ini diadakan oleh Pemerintah Jerman. Kebetulan tahun ini Indonesia menjadi The Guest of Honor (Tamu Kehormatan) pada Oktober 2015.
Sebagai bangsa Indonesia, saya merasa bangga karena negara saya menjadi Tamu Kehormatan dalam event tersebut. Namun dibalik itu, terselip rasa kecewa di hati saya. Alasannya karena beberapa proses persiapan yang dilakukan oleh Komite Nasional FBF 2015, banyak menuai protes dan kritikan dari beberapa penulis.
Seperti di akun FB milik Linda Christanty, misalnya, menyebutkan bahwa dua orang penulis perempuan Indonesia, yaitu Laksmi Pamuntjak (penulis novel ‘Amba’) dan Leila S. Chudori (penulis novel ‘Pulang’), dianggap sebagai “pelopor” penulisan karya sastra berlatar peristiwa 1965 oleh pihak Jerman, “Itu adalah kebohongan yang luar biasa”. Linda mengatakan, bahwa sebelum kedua penulis tersebut, telah banyak penulis lainnya yang mengangkat tema 1965.
Selain Linda, ada juga A.S. Laksana, penulis tetap di kolom “Ruang Putih”, Harian Jawa Pos. Beberapa postingan di akun FB-nya menyoroti tentang nama-nama penulis dan aktivis perbukuan yang menjadi peserta dalam FBF.
AS merasa janggal karena menurut aturan FBF, penulis yang diundang adalah mereka yang sudah menerbitkan buku dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman. Sedangkan yang tertera di daftar nama tersebut banyak yang belum menerbitkan buku, serta ada pula yang sudah menerbitkan buku namun belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman. Malah ada penulis yang bukunya sudah diterbitkan dalam bahasa Jerman, ternyata tidak tercantum dalam daftar nama peserta.
AS heran, karena daftar nama yang telah diumumkan dalam kertas ber-kop resmi pemerintah Jerman tersebut, oleh Komite Nasional dikatakan masih belum final. Alasannya karena ada beberapa nama yang masih belum bisa dihubungi. Padahal seharusnya –masih menurut AS- bila pihak Jerman telah menerbitkan secara resmi nama-nama peserta, itu berarti nama tersebut sudah final. Dan itu sangat bertolak belakang dengan yang dikatakan oleh Komite Nasional FBF. AS mempertanyakan hal ini karena semuanya berkaitan dengan anggaran yang dibiayai oleh negara.
Itu hanyalah sebagian opini dari penulis yang mengkritisi proses perhelatan FBF. Dan sekarang mari kita cermati jawaban dari pihak Komite Nasional FBF 2015.
Goenawan Mohamad (biasa disebut GM) yang ditunjuk oleh Menteri Anies Baswedan sebagai Ketua Komite Nasional FBF 2015, menulis dalam kolom “Ruang Putih” di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 05 Juli 2015 tentang klarifikasinya terhadap pro-kontra tersebut. GM menyatakan alasan mengapa dua novel “Amba” dan “Pulang” tampak begitu menonjol dalam event tersebut. Ini disebabkan dua hal:
- Buku Indonesia memang tidak banyak. Persiapan juga sangat mepet sehingga makin terbatas kemungkinan memperluas kerja penerjemahan. Kesepakatan resmi pemerintah Indonesia untuk menjadi Tamu Kehormatan baru dinyatakan pada tahun 2013. Persiapan hanya selama dua tahun, sedangkan Finlandia menyiapkan diri selama 6 tahun. Mengapa Laksmi Pamuntjak tampak lebih menonjol? Karena “Amba” ditemukan dan dibeli hak ciptanya oleh penerbit Ulstein Verlag melalui Literary Agency pada 2013, ancang-ancangnya sudah lebih lama yaitu dua tahun. Disamping itu, Ulstein Verlag adalah penerbit yang punya dana promosi besar, sehingga publisitasnya gencar.
- Soal “1965”, peristiwa ini memang sedang menjadi perhatian di Frankfurt. Selain karena tahun ini adalah “ulang tahun” ke-50 peristiwa G 30 S, orang Jerman – dengan masa lalu mereka, terutama di bawah NAZI – suka mengungkit tentang “masa lalu” yang dihapuskan. Di sana, buku sastra sedang ramai mengungkapkan kembali sejarah holocaust. Maka mereka tertarik pada buku seperti “Pulang” dan “Amba”. Buku, bukan penulisnya.
Tentang daftar nama peserta yang belum jelas (karena pihak Komite Nasional FBF 2015 belum mengumumkan secara resmi), ada anggapan bahwa pemilihan dan kualitas karya yang dibawa ke FBF adalah karena faktor kedekatan penulis (peserta) dengan GM sebagai Ketua Komite Nasional. Dalam hal itu, GM menegaskan bahwa FBF bukanlah festival sastra yang mengutamakan penulis. FBF adalah pameran buku yang menjadikan buku sebagai komoditas utama.
Itulah sekilas ulasan tentang polemik FBF. Apabila saya tuliskan semua data dan fakta yang telah saya baca hingga kini, mungkin akan terlalu melelahkan bagi kompasianer untuk membacanya.
Dengan mengikuti perkembangan berita seputar FBF, membuat saya meragukan hampir semua hal. Ketika politik Negara semakin ruwet, hukum juga sepertinya tak bisa lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Dunia kepenulisan yang saya anggap masih jauh dari debu dan jelaga, ternyata... mulai turut gonjang-ganjing.
Melihat dua orang yang saya kagumi tulisannya (GM dan AS) berseteru, rasanya seperti…
Mungkin seharusnya saya tak menjadi orang yang selalu penasaran dengan tulisan-tulisan mereka, sehingga saya tak jadi ikut kepikiran hal-hal berat seperti ini.
Saya hanya berharap, Indonesia sukses sebagai The Guest of Honor dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini. Selain itu saya juga berharap, dana yang digelontorkan oleh negara sebesar 150 M dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.
Sudut kamar dini hari, Juli ke-9
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H