Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penghormatan Terakhir

26 Juni 2015   22:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   22:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matanya merah membara, suaranya menggelegar, tak heran bila semua orang takut padanya. Namun tidak denganku, aku sudah muak dengan semuanya. Ibu sudah mati, tak ada lagi yang menghalangiku untuk melawannya.

Balok kayu di tangannya mengayun dengan mantap, dan tak ragu pula aku menangkapnya. Ternyata kebencian yang besar dapat mendatangkan kekuatan yang tak terkira sebelumnya. Aku yang hanya seorang anak remaja tanggung dengan tubuh kurus melawan dedengkot preman dengan tubuh tinggi kekar.

Kudorong tubuhnya dengan bantuan balok kayu yang masih dalam genggamannya. Wajahnya terkesiap, tidak menyangka remaja seperti aku dapat melawan kekuatannya. Dengan sekali hentak, kurebut balok kayu itu kemudian kubuang jauh-jauh.

“Terimalah ini sebagai tanda hormatku padamu, ayah!”

Kuda-kuda kumantapkan, dan kepalan tanganku langsung mengarah ke ulu hatinya.

Lelaki itu terjerembab tak bangun lagi. Aku melangkah pelan keluar area terminal, dengan meninggalkan pandangan ngeri di wajah para preman.

 

***

 

Senja kelabu. Sejauh mata memandang, semuanya hanya abu.

Pada onggokan tanah merah yang masih basah itu aku bersimpuh. Diam. Khusu'. Sebuah kediaman dan kekhusu'an yang amat panjang dan dalam.

Kuraba perlahan tonggak kemuning di ujung gundukan. Butiran bening menitik dari mataku seiring dengan doa sepenuh hati yang kulantunkan untuknya.

"Maafkan aku, ibu. Aku telah menjadi angin yang menentang badai."

Dalam temaram senja kutinggalkan kubur ibu. Langkahku penuh. Gagah walau lelah, sebab membalas dendam pada sosok yang pernah menjadi perantara kehadiranku di dunia jelas bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan.

Aku adalah pemenangnya. Sebuah kemenangan yang entah mengapa terasa begitu kalah.

Dengan diam kembali kumelangkah, dan berharap entah di suatu senja yang mana aku dapat menemukan ketenangan walaupun sedikit.

Sayup masih terdengar rintihan burung kedasih di kejauhan. Dan entah mengapa aku merasa nadanya begitu pilu.

 

Shadow of Great Learner, Juni ke-26

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun