"Knowing your own darkness is the best method for dealing with the darkness's of other people. One does not become enlightened by imagining figures of light, but by making the darkness conscious. The most terrifying thing is to accept oneself completely. Your visions will become clear only when you can look into your own heart. Who looks outside, dreams; who looks inside, awakes." -Carl Jung
Pada kesempatan ini, kita akan mengulas pemikiran Jung tentang psikologi analitik mengenai bayang-bayang dalam diri manusia dari buku Jung’s Map of The Soul: an Introduction by Murray Stein. Ketika berbicara mengenai bayang-bayang atau shadow, maka kerap kali tidak lepas dari persona. Hal tersebut dikarenakan keduanya merupakan satu pasangan subkepribadian divergen dan struktur komplementer dalam psike manusia yang berkembang. Istilah bayang-bayang dan persona diambil dari objek yang dapat dirasakan oleh indrawi; dalam hal ini penglihatan. Bayang-bayang dapat dikatakan seperti siluet diri ketika kita berjalan ke arah cahaya. Sebaliknya, persona merupakan ‘topeng’ yang sengaja kita gunakan ketika menghadapi dunia sosial. Sebelum berpetualang dalam wilayah persona, mari kita menjelajahi terlebih dulu pada bagian bayang-bayang yang disebut sebut sebagai lapisan paling mengerikan dalam diri manusia.
Benang Merah Bayang-bayang dan Ego
Ketika menjelajahi wilayah bayang-bayang, maka akan berkaitan erat pula dengan suatu hal yang kita sebut ego. Di petualangan kita sebelumnya, kita tahu bahwa ego merupakan salah satu factor psikis yang menjadi pusat medan kesadaran. Sedangkan bayang-bayang merupakan salah satu factor psikis bawah sadar yang tidak bisa dikendalikan oleh ego. Dapat dikatakan, ego tidak terlalu menyadari bahwa ia memiliki bayang-bayang. Jung sendiri menggunakan istilah bayang-bayang ini dengan membayangkannya sebagai sifat atau aspek yang berarti berada dalam kegelapan.
Dalam buku ini dikatakan bahwa suatu bagian mana pun dari kepribadian yang terintegrasi secara normal merupakan bagian dari ego, tetapi ketika ditekan oleh adanya disonansi kognitif dan emosional, maka akan jatuh ke dalam bayang-bayang. Hal tersebut berarti bahwa bayang-bayang adalah suatu hal yang jauh lebih dalam dari ego dan merupakan factor bawah sadar dari operasi ego dalam berniat, berkehendak, juga mempertahankan diri. Disebutkan sebelumnya bahwa bayang-bayang tidak bisa dikendalikan oleh ego, hal tersebut karena biasanya bayang-bayang memiliki sifat-sifat yang tidak sesuai moralitas dan bertentangan dengan kesepakatan moral juga tradisi atau kebiasaan masyarakat.
Perlu kita garis bawahi, setiap orang memiliki ego dan setiap ego memiliki bayang-bayang. Dalam menghadapi dunia sosial, tanpa kita sadari, ego akan memerintah bayang-bayang untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan kotor yang menyimpang moralitas. Dikatakan dalam buku ini, ketika fungsi ego dalam memilih, berniat, dan menyetujui ditelusuri lebih dalam, maka kita akan tiba di tempat yang dingin dan gelap, disinilah kita menyadari bahwa ego memiliki kapasitasnya sendiri sebagai bayang-bayang dalam menjadi seorang yang egois, keras kepala, tidak berperasaan, dan tidak terkendali hanya untuk memuaskan keinginan pribadi akan kesenangan dan kekuasaan dengan tebusan apa pun.
Kebanyakan orang tidak menyadari bayang-bayangnya bahwa mereka bisa seegois itu, selalu ingin terlihat sebagai individu yang tidak pamrih dan dapat mengendalikan hasratnya. Orang-orang akan cenderung untuk menyembunyikan sifat atau watak pada bayang-bayang tersebut dari orang lain dan dirinya sendiri menggunakan persona atau topeng yang menampilkan individu dengan empati, kepedulian, dan kejujuran. Namun, disebutkan dalam buku ini ada dua pengecualian terhadap norma sosial tersebut. Pengecualian yang pertama adalah orang yang memang telah membentuk “identitas negative”, individu yang bangga dengan keagresifannya dan memamerkan watak bayang-bayang di muka umum, sementara di sisi lain bayang-bayangnya tersembunyi sisi sentimental. Pengecualian kedua adalah individu yang tidak memiliki ketakutan sama sekali, para sosiopat.
Pada dasarnya semua individu akan berperilaku sesuai dengan norma lingkungan sosial mereka, dan sering kali memperlihatkan watak bayang-bayang mereka dengan tidak sengaja atau hanya ketika terdesak saja. Sesuatu yang dilakukan oleh ego dengan bantuan bayang-bayang tidak selalu terarah ke hal yang negative karena ketika kita berani menghadapinya, sering kali bayang-bayang pun tidak seburuk yang kita kira.
Bayang-bayang biasanya bersifat tidak disadari, tapi diproyeksikan kepada orang lain. Contoh kecilnya adalah ketika kita merasa tidak nyaman terhadap orang lain yang bersikap tidak sesuai moralitas, maka reaksi kita merupakan sinyal bahwa bayang-bayang telah diproyeksikan. Dikatakan dalam buku ini, orang yang naif secara psikologis akan memusatkan perhatiannya pada persepsi dan mengabaikan proyeksi bayang-bayangnya.
Bagaimana Bayang-bayang Terbentuk
Suatu hal yang ditolak oleh ego dan kesadaran akan menjadi bayang-bayang. Suatu hal yang diterima secara positif akan diidentifikasikan menjadi bagian dari ego dan persona. Jadi, dapat dikatakan bahwa bayang-bayang ini merupakan aspek yang tidak diterima dan tidak cocok dengan ego, kesadaran dan persona. Kepribadian dari bayang-bayang ini bersifat tersembunyi dari indrawi penglihatan dan biasanya hanya muncul pada keadaan tertentu. Dunia cenderung tidak mengetahui “pribadi” dari bayang-bayang tersebut. Kebalikan dari bayang-bayang, persona tampak lebih nyata dan mampu memainkan peran untuk beradaptasi dengan dunia sosial.
Bayang-bayang dan persona bisa dianalogikan layaknya saudara, tetapi keduanya merupakan keterbalikan. Persona itu terbuka di dunia sosial dan bersifat rasional, sedangkan bayang-bayang itu tersembunyi dan bersifat emosional. Bayang-bayang dapat dikatakan sebagai subkepribadian yang menginginkan sesuatu, tetapi terhalang dan tidak diperbolehkan oleh persona.
Ego yang mengidentifikasikan dirinya dengan persona dan menerima sifat-sifatnya, sisi bayang-bayang ini akan cenderung dianggap suatu hal yang berbau busuk. Jika seseorang berusaha penuh untuk mengurung bayang-bayangnya, hidupnya memang akan patut dan baik, tetapi akan sangat tidak lengkap. Namun sebaliknya, jika seseorang berusaha membuka diri terhadap bayang-bayangnya, maka akan menyebabkan seseorang tersebut ternoda dengan imoralitas atau penyimpangan moral, tetapi akan memiliki derajat keutuhan yang lebih besar. Yang perlu kita garis bawahi dari hal tersebut adalah untuk tidak terlalu berlebihan dalam mengurung maupun membuka diri terhadap bayang-bayang, secukupnya.
Pada pembahasan ini telah selesai kita memasuki wilayah bayang-bayang. Untuk pembahasan selanjutnya, mari kita berpetualang di wilayah persona, topeng yang kita gunakan untuk menghadapi lingkaran sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H