"Kanker? Takut nggak?"
"Nggak tuh, biasa aja."
"'Kan bisa buat kamu mati terus nggak bisa lihat aku lagi."
Jean terdiam. Lalu, sambungan telepon itu ia putuskan tiba-tiba. Kalimat Ello membuatnya berpikir, bisakah ia melihat sang kekasih itu dari dunia sana? Seperti yang ada di film-film. Sedetik kemudian, Jean kembali mengangkat telepon dari Ello.
"Aku tetep bisa liat kamu kok dari sana. Nggak bakal kangen."
"Oh iya? Bagus deh kalo gitu. Sekarang tidur gih, besok aku jemput jam 8."
"Dih males banget! Aku mau berangkat sendiri aja, lo. Dokternya mulai praktek jam 9 tau."
"Hmm iya iya oke. Dah, see u."
Suara Ello saat mengucapkan kata "see you" malam itu terus menganggu pikiran Jean. Membuat tidurnya tidak nyenyak dan akhirnya membangunkannya dari lelap lamanya setelah melakukan kemoterapi yang sudah ia lakukan entah berapa kali itu.
Sudah sekitar 3 bulan sejak Jean divonis kanker lambung dan kini kondisinya terus memburuk. Rumah sakit seakan telah menjelma menjadi kediamannya. Barang-barang kesukaannya sebagian kecil telah berada di kamar kecil berisi 2 pasien dari bangsal kanker. Kekasihnya, ayahnya, dan adiknya setiap hari bergantian menemani lelap Jean.
"Sebaiknya anda segera menghubungi keluarga anda, Tuan." Kata Dokter itu kepada Ayah Jean. Suasana seketika berubah. Semuanya diam kecuali alat bantu napas dan pemeriksa detak jantung Jean yang diharapkan akan terus berbunyi dan tak pernah berhenti.
Ello yang saat itu sedang menautkan jemarinya dengan jemari Jean tiba-tiba merasakan sebuah pergerakan kecil dari kekasihnya yang sedang terbaring itu. Ia kembali memanggil Dokter dan Perawat, mengharapkan kondisi terbaik Jean. Namun nihil. Dokter berkata semua pergerakannya saat ini hanyalah respon terhadap alat, hal biasa namun tetap bukan pertanda baik.
Dini harinya, sekitar pukul tiga, suara dari alat-alat yang membantu Jean berhenti berbunyi. Ruru, adik laki-laki Jean seketika menekan tombol merah yang digunakan untuk memanggil Perawat. Sesaat setelah Dokter memeriksa Jean, kamar itu mendadak penuh dengan air mata. Terutama dari sang Ibu, yang selama ini tidak pernah memberi secuilpun kasih sayang pada Jean.
Jean Gian Almira, yang selama hidupnya merasa tidak berguna dan selalu membenci dirinya, kini telah terlelap untuk selamanya.