Mohon tunggu...
Nisoy Kunyit
Nisoy Kunyit Mohon Tunggu... -

Saya seorang perempuan yang mencoba untuk berbagi tulisan saya yang dominan kategori fiksi. Yang membawa saya berani dan memberikan tulisan di kompasiana adalah narsis alias pede aja lagiiii. Saya tinggal di Jakarta sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pertemuan -Cerpen-

22 Januari 2010   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku terima sepucuk surat dari seorang perempuan yang telah dititipkan pada sahabatnya. Amplop berwarna merah ati, warna favoritku, ku buka pelan-pelan di kamarku seusai sholat ashar.

Duhai pria yang sholeh, ada sesuatu yang ingin kusampaikan, sesuatu yang membuatku gelisah, rindu, rasa ingin memiliki dan juga senang. Aku sudah sejak dua tahun lalu mulai memperhatikanmu, menyukai engkau dari jauh. Semoga engkaupun demikian, namun bila tidak, sudah cukup bahagia dan lega bila akhirnya engkau tau tentang rasa yang membuatku berani bermimpi tentang hidup berkeluarga. Maafkan bila apa--apa yang ku ucapkan membuatmu menjadi tak nyaman. Aku hanya tak ingin menyimpannya lebih lama.

Yang mencintaimu,

Yasmin Fariha Cahyosuto

Air mata menetes begitu saja seusai ku baca surat itu. Yasmin Fariha Cahyosuto, aku tercengang dengan nama itu. Sudah tiga tahun aku di Jakarta, dan sudah 2 tahun 2 bulan aku sekantor dengan Yasmin, tanyaku dalam hati, apakah mungkin kami beda bagian dan lantai hingga aku tak mengetahui ada yang bernama Yasmin Fariha Cahyosuto, apakah itu dia, apakah benar dia.
♦♦♦
Di kantorku pukul 4 sore menjelang pulang, ku cari informasi kepada teman-teman di kantor, di mana ruang kerja Yasmin Fariha.
Ditengah pencarianku, seorang wanita datang menghampiriku, dia yang menyampaikan surat Yasmin kepadaku.
“Pak Andika, sudah baca suratnya Yasmin kan? Jawabannya?” seberondong pertanyaan keluar dari bibir teman Yasmin dengan penuh keingin tahuan.
“Temanmu sekarang di mana? Aku tunggu di Café Patenggang sekarang” jawabku pada temannya, segera ku meninggalkan kantor.
♦♦♦
Kami saling duduk berhadapan, aku, Yasmin, dan temannya, Mia namanya. Yasmin tertunduk malu, wajahnya kemerahan dengan senyum yang mengembang.
“Aku sudah baca suratmu, Yasmin aku ingin bertanya tentang sesuatu” lalu ku keluarkan sebuah foto dari dompetku.
“Kamu kenal dia Yasmin?” tanyaku bergetar.
“Dia papaku, Mas Aziz kenal?” tanyanya kepadaku.
“Dia papaku juga Yasmin, berarti kamu kakakku, mbaku” jelasku sambil memegang erat tangannya. Yasmin pucat mendengar kata-kataku.
“Bapak menikah dengan ibuku sewaktu kamu berumur 2 tahun, ibuku tidak tahu kalau Bapak sudah punya istri di Jakarta” jelasku
“Tidak mungkin, papaku selalu tinggal bersamaku, mama juga tidak pernah bertengkar dengan Papa, kamu mau nyakitin aku dengan dustamu itu” ucap Yasmin sambil berteriak kearahku.
“10 tahun yang lalu aku terakhir ketemu bapak, dan bapak menceritakan semuanya. Ibuku marah mendengarnya, sampai-sampai ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal 5 tahun yang lalu. Aku pun kecewa dengan bapak, tapi bapak tetap mengirim kami nafkah tiap bulan, hingga aku dapat lulus kuliah tanpa kendala, tujuanku ke Jakarta yang utama adalah mencarimu, mencari bapak, sebab aku dan almarhumah ibu tak pernah tahu keberadaan bapak di Jakarta, sesekali bapak masih suka menelponku, terakhir lima bulan yang lalu” ceritaku panjang lebar. Yasmin hanya menangis dan menangis.
“Apa kamu mau bertemu papa?” tanya Yasmin.
“Iya, aku sangat ingin bertemu, sudah 10 tahun aku tak pernah bertemu, kapan aku bisa bertemu bapak?” tanyaku.
“Sekarang, papa dirawat dirumah sakit sudah tiga hari, tiga hari yang lalu mobil papa mengalami kecelakaan, papa koma mas” jelas Yasmin.
♦♦♦
Rumah Sakit Pasar Rebo, pukul 02.00 dini hari. Sejak tadi Isya aku sudah berada di samping bapak yang terbaring lemah. Ibunya Yasmin pun turut menenangkanku, Alhamdulillah beliau tak membenciku.
♦♦♦
Zhuhur telah berlalu, isak tangis keluarga masih mengiringi kepergian bapak. Selamat jalan bapak, biarkan aku yang menjaga Yasmin dan ibunya, pergilah dengan penuh kedamaian, kami telah memaafkanmu pak.
♦♦♦

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun