Mohon tunggu...
Nisaul Hulayyah
Nisaul Hulayyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Terima kasih telah singgah, semoga pembaca selalu betah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Estetika dalam Akulturasi Gaya Arsitektur Masjid Agung Banten: Pendekatan Semiotika Ferdinand de Saussure

26 Desember 2024   11:26 Diperbarui: 26 Desember 2024   11:32 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Indonesia Kaya

Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keanekaragaman agama yang dianut oleh masyarakatnya. Secara resmi, terdapat enam agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Berbagai agama tersebut memiliki tempat ibadah berupa bangunan yang dibaluti gaya arsitektur dengan menyimpan makna tersembunyi. Salah satu contohnya tempat ibadah agama Islam biasa disebut dengan masjid. Secara terminologi, masjid merupakan tempat beribadah umat Islam, seperti salat. Akan tetapi, masjid juga digunakan sebagai tempat pengembangan ilmu pendidikan, penyebaran Islam, dan pemersatu bangsa (Zuhrah dan Yumasdaleni, 2021: 322). Perkembangan bangunan masjid saat ini, tidak hanya memerhatikan kenyamanan untuk beribadah saja melainkan dalam hal arsitekturnya yang memiliki kesan keindahan. Estetika merupakan ilmu yang mempersoalkan tentang keindahan alam maupun seni. Selain itu, estetika digolongkan menjadi dua yaitu estetika alami dan buatan. Pertama, estetika alami merupakan karya yang tidak dapat dibuat oleh manusia seperti gunung, laut, dan sebagainya. Kedua, estetika buatan merupakan karya yang diwujudkan oleh manusia sebagai benda-benda yang memiliki nilai seni seperti bangunan, patung, dan sebagainya (Utomo, 2010: 1-2). Hal tersebut berhubungan dengan bangunan masjid yang memiliki gaya arsitektur berupa akulturasi budaya yaitu Masjid Agung Banten yang berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.

Banten merupakan provinsi yang berada di Pulau Jawa, sebelumnya Banten termasuk bagian dari Provinsi Jawa Barat. Tetapi sejak tahun 2000, Provinsi Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat dan membentuk provinsi tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan keputusan dalam (UU No.23 Tahun 2000) dan Kota Serang menjadi ibukota Provinsi Banten. Masjid Agung Banten merupakan peninggalan bersejarah dari Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Masjid Agung Banten dibangun tahun 1652 M pada masa pemerintahan putera pertama Sunan Gunung Djati yaitu Sultan Maulana Hassanuddin (Indriastuty, Efendi, dan Saipudin, 2020: 120). Saat ini masjid Agung Banten telah menjadi cagar budaya yang mana di dalam masjid ini terdapat makam-makam para sultan yang pernah memimpin Kesultanan Banten dan makam tersebut masih ramai dikunjungi masyarakat yang ingin berziarah dari berbagai daerah. Selain itu, Masjid Agung Banten memiliki keunikan gaya arsitektur berupa akulturasi tiga aspek kebudayaan yaitu Cina, Belanda, dan Arab. Gaya arsitektur tersebut memiliki filosofi yang mengandung tanda beserta makna. Semiotika menurut Ferdinand de Saussure merupakan kajian mengenai tanda dalam kehidupan sosial, mencakup apa saja tandanya dan hukum apa saja yang mengatur tanda. Bentuk fisik dari tanda oleh Saussure disebut penanda (signifier) dan konsep mental terkait dengannya petanda (signified) dapat dilakukan dengan ikonik dan arbitrer (Sitompul: 2021 dalam Sinaga 2023: 263). Kedua hal tersebut dapat ditemukan dalam akulturasi gaya arsitektur Masjid Agung Banten.  

Estetika dalam akulturasi gaya arsitektur Masjid Agung Banten dapat dibuktikan melalui gambar, sebagai berikut. 

1. Arsitektur Cina dalam Atap Masjid Agung Banten

Sumber Gambar: Indonesia Kaya
Sumber Gambar: Indonesia Kaya
Masjid Agung Banten memiliki atap yang terdiri dari lima tingkat berbentuk bujur sanggar setinggi 30 m berupa atap tumpang tersusun semakin ke atas menjadi mengecil dan paling atas berbentuk limas yang disebut kubah. Atap terbuat dari genteng dengan memolo pada puncaknya berukuran 1,2 m yang terbuat dari tanah liat. Rancangan atap Masjid Agung Banten mirip dengan pagoda Cina merupakan karya arsitek Tjek Ban Tjut yang pernah menjadi arsitek pembantu Raden Sepat (asal dari Kerajaan Majapahit).

2. Arsitektur Belanda dalam Menara dan Tiyamah Masjid Agung Banten

Sumber Gambar: Travel Kompas
Sumber Gambar: Travel Kompas
Sumber Gambar: Kebudayaan.Kemendikbud.go.id
Sumber Gambar: Kebudayaan.Kemendikbud.go.id
Sisi timur Masjid Agung Banten terdapat sebuah menara yang menjadi ciri khas masjid ini. Menara Masjid Agung Banten terbuat dari batu bata dengan diameter bagian bawah kurang lebih 10 m. Menara masjid ini yang berbentuk segi delapan mirip dengan Mercusuar Belanda. Dahulu menara ini digunakan sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, sedangkan saat ini mengumandangkan adzan di menara hanya dilakukan ketika melaksanakan salat Jumat. Selanjutnya, terdapat Tiyamah atau paviliun merupakan bangunan bertingkat yang terletak di selatan Masjid Agung Banten. Masing-Masing tingkat memiliki tiga ruangan berderet dari barat-timur. Atap tiyamah berbentuk limasan yang ditunjang oleh dinding-dinding. Menara dan tiyamah Masjid Agung Banten dirancang oleh arsitek Belanda yaitu Hendrik Lucaz Cardeel.

3. Arsitektur Arab dalam Pintu Masuk, Mimbar, dan Payung Raksasa Masjid Agung Banten  

Sumber Gambar: Indonesia Kaya
Sumber Gambar: Indonesia Kaya
Sumber Gambar: Bujanglanang.blogspot.com
Sumber Gambar: Bujanglanang.blogspot.com
Sumber Gambar: Travel Kompas
Sumber Gambar: Travel Kompas
Masjid Agung Banten memiliki enam pintu masuk masjid yang berada di sisi depan dan pintu ini sengaja dibuat pendek. Setelah memasuki pintu akan tampak ruangan salat bagi pengunjung dan adanya mimbar yang berada di dalam Masjid Agung Banten terpampang tulisan arab gundul pada lengkungan depan mimbar yang penuh hiasan beserta warna. Selain itu, di mimbar terdapat pedang bermata dua. Selanjutnya, terdapat bangunan baru di Masjid Agung Banten berupa payung raksasa berjumlah kurang lebih sepuluh bangunan yang mirip dengan Masjid Nabawi, Madinah. 

Berdasarkan akulturasi gaya arsitektur di atas yang dibuktikan melalui gambar memunculkan adanya makna yang dapat dianalisis menggunakan semiotika Ferdinand de Saussure, sebagai berikut. 

1. Atap Masjid Agung Banten 

Penanda terletak pada aristektur atap Masjid Agung Banten yang berbentuk bertingkat lima yang saling tumpang tindih dan mirip Pagoda Cina. Hal tersebut berhubungan dengan petanda yaitu menggambarkan rukun Islam berjumlah lima yang mana sebelum berdirinya Kesultanan Banten, masyarakat masih menganut agama Hindu tetapi setelah adanya penyebaran agama Islam di Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Djati dan dilanjutkan puteranya, Sultan Maulana Hasanuddin membuat masyarakat Banten menganut agama Islam secara perlahan-lahan. 

2. Menara Masjid Agung Banten 

Penanda terletak pada arsitektur menara Masjid Agung Banten yang berbentuk segi delapan mirip Mercusuar Belanda. Hal tersebut berhubungan dengan petanda yaitu menggambarkan adanya jejak bangsa Belanda yang pernah melakukan pendaratan di pelabuhan Banten dengan tujuan mencari rempah-rempah karena pada saat itu Banten menjadi bandar perdagangan internasional yang memiliki komoditas utama rempah-rempah seperti lada. 

3. Tiyamah Masjid Agung Banten 

Penanda terletak pada arsitektur tiyamah atau paviliun Masjid Agung Banten yang berbentuk bertingkat dan atap tiyamah berbentuk limasan. Hal tersebut berhubungan dengan petanda yaitu menggambarkan kegunaaan tiyamah, dahulu sebagai tempat musyawarah dan diskusi keagamaan pada masa Kesultanan Banten. Sedangkan atap berbentuk limasan secara tidak langsung mencerminkan nuansa rumah tradisional Jawa yang mana berhubungan dengan asal Sultan Gunung Djati yaitu Cirebon, Jawa Barat.

4. Pintu Masuk Masjid Agung Banten 

Penanda terletak pada arsitektur pintu masuk Masjid Agung Banten yang berjumlah enam dengan model pintu terlihat pendek. Hal tersebut berhubungan dengan petanda yaitu enam jumlah pintu menggambarkan rukun iman, sedangkan model pintu terlihat pendek menggambarkan sikap yang dilakukan pengunjung yang masuk ke Masjid Agung Bantern agar selalu menunduk sebagai bentuk merendahkan diri kepada sang pencipta alam semesta, yaitu Allah SWT. 

5. Mimbar Masjid Agung Banten 

Penanda terletak pada mimbar Masjid Agung Banten yang terdapat tulisan arab gundul dan pedang bermata dua. Hal tersebut berhubungan dengan petanda yaitu tulisan arab gundul menggambarkan masuknya kebudayaan Arab di masa Kesultanan Banten, sedangkan pedang bermata dua menggambarkan adanya perlawanan antara Kesultanan Banten dan VOC serta perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji. Selain itu, pedang bermata dua dianggap pernah dipakai oleh Khalifah Ali Bin Abu Thalib untuk berperang tetapi untuk saat ini pedang tersebut digunakan untuk khutbah pada salat Jumat yang dipegang oleh  khatib.

6. Payung Raksasa Masjid Agung Banten

Penanda terletak pada arsitektur payung raksasa Masjid Agung Banten yang mirip dengan Masjid Nabawi. Hal terebut berhubungan dengan petanda yaitu menggambarkan kekuatan Masjid Agung banten dalam hal akulturasi dengan berbagai budaya, salah satunya Arab. Selain itu, berhubungan dengan penggunaan payung pada umumnya yaitu sebagai pelindung dari hujan maupun terik sinar matahari sehingga pengunjung Masjid Agung Banten dapat berteduh di payung raksasa sambil menikmati keindahan sekeliling masjid. 

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat simpulkan bahwa keberadaan masjid yang ada di Indonesia memiliki estetika atau keindahan dalam bentuk arsitekturnya, salah satunya pada Masjid Agung Banten yang terdiri dari akulturasi gaya arsitektur Cina, Belanda, dan Arab sehingga tercermin makna secara mendalam berupa sejarah, sosial, dan budaya melalui pendekatan semiotika Ferdinan de Saussure.

Daftar Pustaka

Indriastuty, Rizky Hanifa., Efendi, Rachman Aulia., dan Saipudin Ibnu Alwi. 2020. “Bangunan Masjid Agung Banten sebagai Studi Sosial dan Budaya,” dalam Jurnal Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan. Vol.7/No.2. Hlm.120. https://doi.org/10.26858/jp.v7i2.13517. Diunduh pada Kamis, 26 Desember 2024. 

Sinaga, Roita. 2023. “Analisis Semiotika Ferdinan de Saussure dalam Novel Garis Waktu Karya Fiersa Besari,” dalam Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya. Vol.4/No.1. Hlm.263. https://doi.org/10.37304/enggang.v4i1.12138. Diunduh pada Kamis, 26 Desember 2024.

 Utomo, Prasetyo Tri. 2010. “Estetika Arsitektur dalam Perpektif Teknologi dan Seni,” dalam Jurnal ISI Surakarta. Vol.1/No.1.Hlm.1-2. https://doi.org/10.33153/pendhapa.v1i1.1687. Diunduh pada Kamis, 26 Desember 2024. 

Zuhrah, Fatimah dan Yumasdaleni. 2021. “Masjid, Moderasi Beragama, dan Harmoni di Kota Medan,” dalam Jurnal Harmoni. Vol.20/No.2. Hlm.322. https://doi.org/10.32488/harmoni.v20i2.512. Diunduh pada Kamis, 26 Desember 2024.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun