Mohon tunggu...
Nisaul Hulayyah
Nisaul Hulayyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Terima kasih telah singgah, semoga pembaca selalu betah!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Lisan: Persamaan dan Perbedaan antara Legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang

19 April 2024   13:51 Diperbarui: 19 April 2024   18:26 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar:  Industry.co.id dan ERA.ID

Sastra lisan merupakan karya sastra yang disebarkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut (lisan). Terdapat jenis-jenis sastra lisan, salah satunya legenda yang berarti dianggap oleh pemilik cerita sebagai suatu kejadian asli dan pernah benar-benar terjadi. Pemilik atau pencipta cerita tersebut bersifat anonim (tidak diketahui) karena berhubungan dengan proses penyebarannya. 

Setiap daerah memiliki legenda masing-masing yang kehadirannya menjadi ciri khas daerah tersebut. Berikut ini terdapat dua legenda yang berasal dari pulau Sumatera dan Jawa yaitu legenda Gunung Pinang dari Provinsi Banten serta legenda Malin Kundang dari Provinsi Sumatera Barat. 

Kehadiran dua legenda tersebut terselip persamaan dan perbedaan dari segi unsur intrinsiknya atau unsur pembangun dalam sebuah cerita yang terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Akan tetapi, terdapat  perbedaan yaitu pada bagian akhir penceritaan.

Legenda Gunung Pinang merupakan bentuk sastra lisan dari masyarakat Banten. Gunung ini terletak di Serang, Banten yang eksistensinya menyimpan cerita menarik yang tidak semua orang mengetahuinya bahkan gunung ini pernah menjadi destinasi wisata masyarakat Banten. Akan tetapi, sekarang telah berubah sehingga mengharuskannya untuk ditutup dengan alasan tidak diketahui secara pasti. Berikut ini legenda Gunung Pinang.                                                                     

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda dan anak laki-lakinya bernama Dampu Awang di pantai Teluk Banten. Mereka hidup serba kekurangan sehingga membuat Dampu Awang berniat merantau ke negeri Malaka karena di sana banyak pekerjaan. Niat tersebut disampaikan kepada ibunya, ternyata ibunya menentang karena merasa cukup walaupun hidup susah. 

Hal tersebut membuat Dampu Awang melamun pada siang dan malam hari sehingga membuat ibunya tidak tega. Alhasil memberikan izin kepada Dampu Awang untuk merantau dengan syarat harus rajin mengirimkan kabar melalui burung merpati bernama Ketut yang dahulunya piaraan ayahnya. 

Saat itu terdapat saudagar kaya raya dari Samudera Pasai bernama Teuku Abu Mastyah bersama puterinya, Siti Nurhasanah sedang berlabuh di Teluk Banten. Dampu Awang pun ikut berlayar dan bekerja kepada saudagar tersebut. Selama bekerja Dampu Awang berprilaku baik sehingga saudagar menjodohkannya dengan Siti Nurhasanah dan berhasil menikah. Kemudian, sepeninggal saudagar, Dampu Awang mewarisi seluruh kekayaannya.

Selama satu dasawarsa Dampu Awang merantau telah mengirim empat kali surat kepada ibunya. Suatu hari, tersebar kabar bahwa terdapat saudagar kaya raya yang berlabuh di Teluk Banten. Hal tersebut terdengar di telinga ibu Dampu Awang sehingga berharap saudagar tersebut anaknya. Dampu Awang datang bersama istrinya, disambut dan dikerumuni oleh penduduk sekitar tepi pantai. 

Ibu Dampu Awang sangat senang melihat yang datang adalah anaknya sehingga memanggil nama Dampu Awang dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, kekayaan mengubah perilaku Dampu Awang yang tidak mengakui ibunya yang sudah tua. Ketika istrinya menanyakan kebenaran tentang ibunya, Dampu Awang tetap tidak mengakui dan menganggap ibunya telah meninggal. Hal tersebut membuat Dampu Awang mengurungkan niatnya untuk bertemu Sultan Banten dan hari itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan perjalanan.

Ibu Dampu Awang sangat terluka hatinya sshingga berdoa kepada Tuhan bahwa jika Dampu Awang bukan anaknya, berikanlah dia keselamatan dan jika benar anaknya berikanlah hukuman yang setimpal. Setelah itu, siang yang cerah berubah menjadi gelap seperti malam disertai hujan, petir, dan kilat yang saling menyambar. Hal tersebut membuat kapal Dampu Awang terombang-ambing membuat anak buahnya ketakutan dan menceburkan diri ke laut. 

Tiba-tiba Ketut dapat berbicara dan menyuruh Dampu Awang untuk mengakui ibunya serta meminta maaf. Angin pun semakin kencang berhasil meniup dan memasukan kapal Dampu Awang dalam pusaran angin puyuh. 

Dampu Awang berteriak meminta tolong kepada ibunya, tetapi sudah terlambat. Sekian lama kapal dipermainkan oleh pusaran angin, akhirnya terlempar jauh ke sebelah selatan dan jatuh terbalik. Konon katanya, kapal tersebut berubah menjadi gunung dan masyarakat setempat memercayai gunung tersebut termasuk wujud dari kapal Dampu Awang.

Selanjutnya, legenda Malin Kundang merupakan bentuk sastra lisan dari masyarakat Padang,  Sumatera Barat yang ceritanya diketahui oleh khalayak luas. Berikut ini legenda Malin Kundang.

Pada zaman dahulu, terdapat sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Hiduplah seorang Janda bernama Mande Rubayah bersama anak laki-lakinya bernama Malin Kundang. Ibunya sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang hingga dia tumbuh menjadi anak rajin serta penurut. Saat ibunya sudah tua pernah menjual kue untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya. 

Suatu hari, Malin Kundang jatuh sakit keras yang berdampak pada nyawanya tetapi berkat usaha ibunya akhirnya terselamatkan dan setelah sembuh Malin Kundang semakin disayang ibunya. Saat tumbuh dewasa, Malin Kundang meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, kebetulan terdapat kapal besar yang berlabuh di tepi Pantai Air Manis selama satu tahun sekali. 

Ibunya tidak mengizinkan, tetapi Malin Kundang selalu membujuk dan menggenggam tangan ibunya sebagai bentuk keyakinan jika dia merantau dapat mengubah kehidupannya. Ibunya pun mengizinkan dan membawakan bekal nasi  bungkusan daun pisang sebanyak tujuh selama di perjalanan. Ibunya mengingatkan Malin Kundang untuk cepat kembali. Setiap hari ibunya selalu mendoakan Malin Kundang bahkan selalu bertanya kepada nahkoda atau awak kapal yang datang tetapi tidak mendapatkan jawaban.

Suatu hari ibunya mendengar kabar dari Nahkoda jika Malin Kundang telah menikah dengan puteri saudagar yang kaya raya. Beberapa hari kemudian terlihat sebuah kapal yang megah berlayar ke arah pantai. Sesampainya di sana, pemilik kapal disambut dengan penduduk sekitar termasuk Mande Rubayah. Tiba-tiba ibunya memeluk Malin Kundang sambil menangis. Hal tersebut membuat Malin Kundang terkejut karena dipeluk oleh perempuan tua dengan pakaian compang-camping. Istri nya pun tidak percaya dan sambil menghina ibu Malin Kundang dengan perkataan kasar. 

Malin Kundang pun mendorong ibunya sampai terguling ke pasir sambil berkata jika dia bukanlah anaknya. Kemudian ibunya berusaha menyakinkan anaknya dengan memeluk kakinya. Tiba-tiba Malin Kundang menendang ibunya sambil berkata kasar. Ibunya pun pingsan di pasir sambil merasakan sakit hati atas perlakuan anaknya dan saat sadar Pantai Air Manis sudah sepi. Ibunya pun berdoa disertai tangisan sambil melihat kapal Malin Kundang yang menjauh. Tidak lama, cuaca di tengah laut yang cerah berubah menjadi gelap dan disusul oleh hujan. 

Datang pula badai besar menghantam kapal Malin Kundang membuatnya ketakutan dan sambaran petir menggelegar berhasil menghancurkan kapal hingga berkeping-keping sampai terbawa ombak ke pantai. 

Saat badai sudah reda, di tepi pantai terlihat kepingan kapal dan satu manusia sedang bersujud dengan bentuk batu yang dipercayai sebagai Malin Kundang. Selain itu, di sela batu terdapat ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri yang berenang-renang yang dipercayai sebagai serpihan tubuh istri Malin Kundang yang selalu mencari keberadaan suaminya.

Persamaan dan perbedaan antara legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang.
1. Persamaan terdapat pada unsur intrinsik.
A. Tema
Tema dalam legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang yaitu kekecewaan seorang ibu atas perlakuan anak laki-lakinya yang durhaka.

B. Tokoh dan penokohan
Tokoh dan penokohan dalam legenda Gunung Pinang, sebagai berikut.

a. Ibu Dampu Awang memiliki watak yang baik, penyabar, dan setia.
b. Malin Kundang memiliki watak yang baik, penurut, sombong, dan jahat.
c. Teuku Abu Mastyah memiliki watak yang baik dan dermawan.
d. Siti Nurhasanah: tidak dijelaskan secara eksplisit tapi dapat disimpulkan memiliki watak yang baik dan sombong.

Tokoh dan penokohan legenda Malin Kundang, sebagai berikut.
a. Mande Rubayah (ibu Malin Kundang) memiliki watak yang baik, penyabar, dan setia.
b. Malin Kundang memiliki watak baik, penurut, sombong, dan jahat.
c. Saudagar: tidak dijelaskan secara eksplisit tapi dapat disimpulkan memiliki watak yang baik dan dermawan.
d. Istri Malin Kundang memiliki watak yang baik dan sombong.

Tokoh yang digunakan dalam legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang berjumlah empat orang dan penokohan pun memiliki watak yang sama.

C. Alur
Alur yang digunakan dalam legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang yaitu alur lurus/progresif/maju karena cerita yang disampaikan runtut dari awal hingga akhir.

D. Latar
Latar yang digunakan dalam legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang terdiri dari latar tempat berfokus pada kehidupan di tepi pantai. Legenda Gunung Pinang di tepi pantai teluk Banten dan legenda Malin Kundang di tepi pantai Air Manis. Latar waktu kedua legenda tersebut yaitu pada siang hari dan latar sosial-budaya yaitu kehidupan masyarakat yang tinggal di tepi pantai diidentikkan dengan nelayan atau bekerja sebagai awak kapal.

D. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang yaitu sudut pandang orang ketiga berfokus pada "dia atau nama tokoh."

E. Amanat
Amanat yang didapatkan dari legenda Gunung Pinang dan Malin Kundang sebagai berikut.
a. Jangan durhaka kepada orang tua, berbuat baiklah kepadanya, dan ingatlah jasa-jasa yang telah diberikan.
b. Kekayaan dapat mengubah perilaku seseorang.
c. Kesombongan berujung malapetaka.

2. Perbedaan terdapat pada bagian akhir penceritaan

Bagian akhir penceritaan legenda Gunung Pinang yaitu kapal Dampu Awang yang terombang-ambing di lautan kemudian terpental dan tengkurap di tepi pantai yang berubah menjadi gunung dengan nama Gunung Pinang. Selain itu, bagian akhir penceritaan legenda Malin Kundang yaitu kapal Malin Kundang yang terombang-ambing di lautan menjadi hancur dan terpental disertai Malin Kundang dalam keadaan sedang bersujud di tepi pantai berubah menjadi batu.

Kehadiran sastra lisan berupa legenda memberikan pembelajaran untuk kehidupan masyarakat setempat maupun masyarakat umum meskipun legenda yang disampaikan dari mulut ke mulut akan berbeda tergantung perspektif orang yang mengetahui legenda tersebut. Oleh karena itu, mari lestarikan sastra lisan sebagai wujud budaya yang menarik dan menjadi ciri khas setiap daerah agar generasi yang akan datang mampu mengetahui keanekaragaman sastra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun