Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Masa Depan Literasi di Era Artificial Intelligence

7 Oktober 2024   17:45 Diperbarui: 8 Oktober 2024   15:18 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis vs AI (Ilustrasi: KOMPAS/HERYUNANTO)

Sebagai penulis, relakah saat tulisan Anda dijiplak oleh orang lain? Lalu, bagaimana jika mesin teknologi terbaru yang menjadi plagiator karya Anda? Bukankah kini dalam hitungan menit, suatu karya milik orang lain dapat disalin dan diakui sebagai karya pribadi melalui internet.

Lebih dari 50 tahun sebelum hadirnya teknologi AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan), karya literasi global maupun nasional tak luput dari dugaan plagiarisme.

Contohnya antara lain karya novelis Ernest Hemingway yaitu "The Old Man and the Sea" (1952) yang serupa, tapi tak sama, dengan novel "Marlin" (1936) milik penulis Kuba, Enrique Serpa.

Di Indonesia, novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" (1938) karya Hamka dituding menjiplak karya novelis Prancis yaitu Jean-Baptiste Alphonse Karr yang berjudul "Sous les Tilleuls/Under the Lime Trees" (1832).

Terlepas dari rumor plagiarisme, kedua novel legendaris tersebut bahkan telah diadaptasi ke layar lebar pada tahun 1958 untuk novel Hemingway dan 2013 untuk novel Hamka sehingga nama besar Hamka dan Hemingway pun abadi sebagai khazanah literasi yang merujuk lebih dari kemampuan membaca dan menulis saat suatu karya sastra disadur menjadi film.

Per 31 Januari 2024, UNESCO pun mendefinisikan literasi sebagai "kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, menciptakan, dan berkomunikasi melalui informasi di era teknologi digital yang terus berubah dan berkembang semakin cepat."

Tak heran, para penulis di era sebelum AI hadir perlu belasan hingga puluhan tahun untuk sampai dapat dilabeli sebagai plagiator literasi, yang terkadang tuduhan itu lebih bersifat pencemaran nama baik maupun sentiment pribadi daripada berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan kini, lokapasar sekelas Amazon pun telah dibanjiri buku palsu buatan AI, bahkan sehari (!) setelah penulis aslinya merilis karya mereka. Hal inilah yang dialami penulis Peru-Amerika, Marie Arana yang perlu lima tahun selama meneliti dan menulis bukunya "LatinoLand: A Portrait of America's Largest and Least Understood Minority" yang diluncurkan pada tanggal 20 Februari 2024 lalu.

Sehari paska peluncuran bukunya, jurnalis senior tersebut mendapati di Amazon, ada judul buku yang sangat mirip karyanya "America's Largest and Least Understood Minority: A Summary of Latinoland" yang ditulis Clara Bailey.

Setelah Arana melayangkan protes melalui media, buku hasil AI 'karya' Clara Bailey itu pun ditarik dari Amazon. Sosok Clara Bailey pun tetap misterius hingga kini dan tak dapat dikonfirmasi apalagi diwawancarai, sekalipun dirinya mengklaim telah menulis beberapa buku best seller melalui Amazon

Lalu, bagaimana di Indonesia? Sudah adakah penulis yang karyanya diduplikasi mentah-mentah oleh AI?

Sejauh ini, memang belum ada satupun penulis Indonesia yang telah mengakui karyanya dibajak AI. Namun, ada sejumlah situs AI online berbahasa Indonesia yang secara gamblang menawarkan jasa text generator mulai dari artikel, cerita, dan puisi dalam hitungan detik dengan tarif terjangkau sehingga harga bukunya jauh di bawah buku karya penulis non-AI yang dicetak para penerbit buku.

Maka itulah, sudah saatnya bagi para penggiat literasi untuk terus dapat produktif menulis dengan nuansa humanis sesuai tren zaman di tengah menjamurnya konten dari AI. Kita jelas tak mungkin mengunci laju AI, namun karya literasi dari hati tentunya lebih mudah diresapi.

Ketika dunia literasi terdistraksi oleh kemunculan teknologi AI

Sejak masifnya media sosial yang bertumpu erat pada konten multimedia, literasi berbentuk buku boleh dibilang semakin tergerus peminatnya. Lihat saja jumlah pembaca buku cetak di kendaraan umum seperti bis dan kereta yang kini dapat dihitung di bawah 10 jari.

Minat baca yang terjun bebas, lalu ditambah dengan proses kreatif yang berliku alias tak instan meraup uang saat menulis satu buku spontan membuat dunia literasi itu nirgemerlap.

Menurut survei oleh Perpustakaan Nasional tahun 2017, jumlah buku yang ditamatkan orang Indonesia per tahun rata-rata hanya 5-9 buku atau kurang dari 1 buku per bulan dan dengan waktu penulisan untuk satu buku sekitar 3-12 bulan per penulis.

Hadirnya AI pun menjadi short cut (jalan pintas) bagi pemburu cuan dari tulisan. Bayangkan saja seorang penulis Amerika, Tim Boucher yang menulis ebook, mengaku dapat menulis 97 ebook bergenre fiksi ilmiah (science fiction/sci-fi) hanya dalam waktu 9 bulan, atau dalam sebulan Boucher dapat menulis hingga sepuluh buku, dan meraup 2,000 US dollar mulai Agustus 2022 hingga Mei 2023 dengan menjual 574 ebook yang dihasilkan oleh AI, sangat menggiurkan bukan?

Buku dan novel digital jelas meraih momentumnya karena orang tak leluasa keluar masuk toko buku selama pandemi lalu. AI pun seolah menjelma sebagai solusi praktis bagi dunia literasi yang sempat mati suri di masa pandemi.

Meskipun begitu, apakah ini berarti ide kreatif yang asli dari kepala para penulis lantas digantikan 100 persen oleh AI? Jika tanpa dibantu AI, bisakah para penulis menulis sebanyak belasan hingga puluhan, bahkan ratusan yang dihasilkan dari AI?

Kita harus mengingat, sekaliber apapun seorang penulis, dirinya pasti pernah mengalami writer's block yang dapat menghambat laju produktifitasnya dalam menulis buku bergenre apapun, fiksi maupun non-fiksi.

Kutipan dari ilmuwan Charles Darwin tentang spesies yang mampu bertahan hidup sepanjang masa adalah yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya, bukan spesies terkuat atau tercerdas, dapat memprediksi nasib penulis di era AI. Adaptasi menjadi kunci literasi masa kini.

Adaptasi para penggiat literasi di era viralnya AI yang pasti

Jika Anda terbiasa menulis mandiri, mesin AI tak akan mengubah ciri khas tulisan Anda. Ibarat sidik jari, setiap penulis pasti memiliki keunikannya masing-masing, baik dari genre maupun diksi yang digunakan.

Ini mirip dengan penggunaan mesin tik setelah pena dan lalu komputer setelah mesin tik. Kini, AI tak hanya sebatas alat cetak literasi, namun juga hingga 'otak' di balik suatu ide.

Survey Statista pada Mei 2023 di Amerika mencatat data berikut: 23% penulis di negeri Paman Sam itu memakai AI, 47% penulis memakai AI sebagai alat bantu bahasa (grammar tool), 29% penulis memperoleh ide plot cerita serta karakter dari AI, dan di bawah 10% penulis yang karyanya bulat berasal dari AI. Semoga di Indonesia, survei serupa dapat segera dilakukan jua.

Temuan di AS tersebut semakin menandai bahwa peran AI dalam literasi memang tak lagi dapat dihindari. Tetapi, penulis pun tetap memiliki pilihan untuk memakai AI ataupun tidak seperti yang dialami Profesor Vara Vauhini dari The Ohio State University di Amerika setelah esainya berjudul "Ghosts" menjadi viral di tahun 2021 dengan bantuan GPT-3 (kini disebut ChatGPT) selama proses penulisannya.

Awalnya Vauhini merasa bangga dengan viralnya esai "Ghosts" tersebut yang juga masuk dalam antologi "Best American Essays 2022." Namun, dirinya kini lebih memilih untuk (kembali) menulis tanpa AI karena baginya, esainya itu tak lagi utuh berasal dari ide artistik dalam sel syaraf otaknya.

Pilihan Vauhini itu sah-sah saja tentunya dan yang terpenting, dirinya sukarela mengakui bahwa esainya turut dibidani AI. Seviral apapun tulisan oleh AI, etikanya dari awal si penulis dan penerbitnya mau menjelaskan ke publik bahwa karya literasi tersebut difasilitasi AI.

Buku berjudul 'Latinoland' karya Marie Arana di atas dijiplak oleh AI hanya sehari setelah rilisnya (Ilustrasi: houstonpublicmedia.org)
Buku berjudul 'Latinoland' karya Marie Arana di atas dijiplak oleh AI hanya sehari setelah rilisnya (Ilustrasi: houstonpublicmedia.org)

Transparansi literasi hasil karya AI dan kebijakan hukum yang melindungi

Sejak sejumlah penulis ternama, termasuk novelis Jane Friedman asal Ohio Amerika Serikat yang telah berkiprah lebih dari 25 tahun saat menuntut Amazon dan Goodreads yang menjual lima buku karyanya yang diduplikasi oleh AI dengan mencatut namanya, kini Amazon mewajibkan para penulis untuk transparan dari awal tentang penggunaan AI dalam karya mereka. Amazon pun membatasi maksimal 3 buku per hari untuk diiklankan di lokapasar tersebut bagi penulis dari self-publishing.

Kebijakan tersebut patut dicermati pula bagi para penerbit buku dan lokapasar di Indonesia. Saat ini, bisa jadi secara perlahan tapi pasti, buku-buku yang diproduksi AI dengan memakai nama manusia sebagai penulisnya, telah menyusupi rumah literasi nasional.

Ingatlah, bahwa selama ini Indonesia kerapkali diasosiasikan sebagai surganya bagi produk bajakan, tak terkecuali bagi hasil karya literasi. Ironis dan miris memang, tetapi hal itu memang harus besar hati untuk kita akui Bersama sebagai bahan evaluasi diri.

Kita tentu patut pula mengapresiasi langkah penerbit di Indonesia yang dari awal tegas melarang buku besutan AI beredar bebas via edisi cetak maupun platform digital milik mereka.

Tapi, ke depannya, para penggiat literasi di Indonesia harus telah mengantisipasi kasus yang telah menimpa para penulis di Amerika dengan menjamurnya buku yang dibuat dengan AI.

Hal ini terutama sangat vital bagi genre buku yang laris manis seperti kisah misteri dan romansa untuk jenis fiksi serta buku self-help (pengembangan diri) dan sejarah tentang peristiwa kontroversial bagi buku non-fiksi. Peluang mendulang banyak uang dari buku bergenre tersebut terbuka lebar melalui AI.

Selain teks, AI juga mampu untuk menghasilkan ilustrasi yang dapat membuat suatu buku semakin menarik. Fakta ini pun kelak akan memacu banjir buku anak oleh AI karena buku anak, khususnya usia pra sekolah dan sekolah dasar memang sangat mengandalkan ilustrasi sehingga menarik minat baca anak.

 Di satu sisi, AI bisa berfungsi sebagai alat optimal untuk melecut produktifitas penulis. Namun, tanpa diiringi dengan kesadaran etika dan kebijakan hukum yang jelas serta tegas, AI akan sangat berpotensi menodai literasi di masa depan dengan karya yang tak berkualitas.

Harapannya, kemajuan literasi di Indonesia secara khusus dan di dunia secara umum dapat berpadu secara harmonis dengan pengembangan AI. Teknologi bisa datang silih berganti, tetapi kearifan literasi terbukti telah memandu hidup yang lebih berarti di Bumi ini. Salam literasi yang menginspirasi dan menyejukkan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun