Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapak Rumah Tangga dan Kesetaraan Gender

4 Oktober 2023   11:15 Diperbarui: 4 Oktober 2023   11:22 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saatnya kesetaraan gender semakin disebarluaskan (Ilustrasi 1: Jakarta Globe) 

Saat masih kuliah, seorang bapak dosen bercerita bahwa istrinya menjadi part-time baby sitter ketika mendampingi beliau kuliah S3 di Amerika Serikat. 

"Itu hal yang biasa. Ada juga lho, para dosen wanita yang suaminya menjaga anak dan mengurus rumah saat menemani istri mereka kuliah di luar negeri. Tapi, lumrah kok jadi bapak rumah tangga di sana," papar pak dosen yang humoris tersebut.

Saya ingat, kisah beliau itu direspon tawa seisi kelas. Namun, di Indonesia, apakah bapak rumah tangga juga dianggap wajar?

 

Indonesia menempati urutan 101 dari 156 negara dan mengalami penurunan 16 peringkat dibanding tahun 2020 dalam hasil riset bertajuk "Global Gender Gap Report 2021" dari World Economic Forum (WEF). Rendahnya partisipasi dan peluang di sektor ekonomi mendorong penurunan skor dan peringkat Indonesia di tahun 2021 karena selama pandemi dan perusahaan harus merumahkan karyawan, peluang pegawai wanita untuk diberhentikan (ibu rumah tangga) jelas lebih besar daripada kemungkinan para karyawan pria menjadi bapak rumah tangga. 

Hal ini tak terlepas dari kuatnya konsep patriarki di masyarakat Indonesia yang (masih) menganggap pria sebagai pencari nafkah utama keluarga. Padahal, secara gender, seorang suami maupun istri sama berhaknya untuk menghidupi keuangan keluarga maupun mengurus rumah tangga. 

Lalu, apakah isu kesetaraan gender di Indonesia itu masih jauh panggang dari api? Selamat membaca pemaparan berikut ini yang semoga dapat memotivasi dan menginspirasi kita bahwa gender gap itu sudah saatnya tak lagi diwariskan antar generasi.

Apakah Gender itu Ajar atau Dasar?

Pemberian warna biru untuk bayi laki-laki dan pink untuk bayi perempuan di suatu keluarga tak  pelak mengajarkan bahwa hal sesederhana warna pun dibedakan gendernya, sedangkan warna itu sendiri konsep awalnya adalah unisex. Tapi, karena sejak lahir seseorang telah terbiasa dengan didikan di keluarga bahwa warna merah muda itu identik dengan kesan feminin, maka laki-laki lebih cenderung menjauhi warna pink.

Sementara itu, konsep pekerjaan rumah tangga yang dapat dilakukan oleh wanita dan juga pria malah kerapkali terabaikan. Lihat saja iklan di TV yang (berulangkali) menggambarkan adegan anak perempuan membantu ibunda mereka di dapur sedangkan anak laki bermain dengan sang ayah.

Kita memang harus mulai membiasakan diri tentang perbedaaan gender secara fitrah manusia dengan peran sosialnya di masyarakat. Mengandung, melahirkan, dan menyusui seorang anak tentu saja adalah kodrat alami wanita yang digariskan ALLAH swt. 

Namun, peran mengasuh anak dan mengurus rumah mutlak dapat dibagi antara pria dan wanita tanpa harus memusingkan perbedaaan gender. Jika kita dapat menerima profesi pria sebagai koki dan wanita sebagai pilot, hal yang sama tentu dapat berlaku untuk peluang ibu dan juga bapak rumah tangga.

Konsensus vs Kesetaraan Gender

Menurut salah satu teori atribusi psikologi sosial yang terkenal yaitu Model Kovariasi Kelley (1967), tindakan seseorang harus dikaitkan dengan beberapa karakteristik (disposisi) orang tersebut atau lingkungan (situasional). 

Konsensus adalah bagian dari teori Kelley tersebut yaitu "suatu perilaku yang cenderung dilakukan oleh semua orang dalam situasi yang sama."

Saat suatu masyarakat berulangkali  menganggap tabu tentang bapak rumah tangga, pandangan tersebut turut berdampak pada rendahnya peran ibu rumah tangga. Seorang wanita karir (cenderung) dianggap lebih tinggi derajatnya karena dia dapat menghasilkan uang layaknya para pria yang bekerja nafkah.

Peran bapak guru di TK atau PAUD kini semakin penting (Ilustrasi 2: BBC News)
Peran bapak guru di TK atau PAUD kini semakin penting (Ilustrasi 2: BBC News)

Ironisnya, di beberapa keluarga kerajaan yang (dulu) sangat kuat diskriminasi gendernya, pangeran yang menjadi suami seorang ratu kini tak lagi dipandang hanya sebagai bapak rumah tangga. Hal ini terlihat jelas pada riwayat hidup Pangeran Phillip Mountbatten yang lebih dari 7 dekade (tepatnya selama 74 tahun) mendampingi Ratu Elizabeth II dari Inggris dalam pernikahan mereka dengan melepas karirnya sebagai perwira angkatan laut dan juga Pangeran Henrik de Monpezat yang mundur sebagai diplomat Perancis ketika menikahi Ratu Margrethe II dari Denmark pada tahun 1967.

Jika konsensus serupa dapat diterapkan pada warga umumnya di luar keluarga kerajaan, isu diskriminasi gender pun dapat terkikis sedikit demi sedikit dengan tak anehnya lagi bagi pria yang melepas karirnya (untuk mendukung karir istri) saat menikah karena selama ini, kita jauh lebih terbiasa dengan wanita yang berhenti kerja saat melepas masa lajang.

 Gender equality pun semakin meluas agar tingkat kesejahteraan dan kemakmuran suatu negara dapat diterima semua warga tanpa dibatasi jenis gender.

Pendidikan Gender Jadi Kunci

Mayoritas negara dengan gender gap yang rendah atau indeksnya kurang dari 1 (0=timpang, 1=setara) memiliki indeks sumber daya manusia yang juga rendah. Hal ini juga berarti kurang majunya kualitas pendidikan di negara dengan gender gap yang tinggi.

Tak heran, cara terefektif agar gender gap dapat menurun kasusnya yaitu dengan pendidikan yang berfokus pada kesetaraan gender. Salah satu materi yang paling sederhana adalah bekerja untuk menghasilkan uang itu tak harus keluar rumah (tidak hanya pergi ke kantor) yang dapat dilakukan oleh suami maupun istri. 

Jadi, jika suami (sering) bekerja dari rumah sebagai web developer dan profesi istri adalah  jurnalis yang jelas lebih aktif di luar rumah, maka hal itu tak lagi dianggap aneh meskipun kesan 'bapak rumah tangga' akan melekat kuat. 

Pendidikan dapat mengikis terjadinya gender gap (Ilustrasi 3: Katadata)
Pendidikan dapat mengikis terjadinya gender gap (Ilustrasi 3: Katadata)

Selain itu, jumlah perempuan yang berkarir di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, & Maths) juga dapat terus ditingkatkan karena STEM hingga saat ini masih lekat diasosiasikan dengan pekerjaannya kaum Adam. Sebaliknya, profesi yang selama ini juga identik dengan perempuan seperti guru PAUD/playgroup/TK perlu mulai dianggap wajar saat para pria menjalaninya.

Kesetaraan gender bukanlah sebatas persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di (hampir) semua bidang kehidupan. Namun, ini lebih bertujuan agar pria dan wanita saling melengkapi peran masing-masing dan menghormati perbedaan satu sama lain agar harmoni kehidupan tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun