“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”
Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, perkawinan anak berdampak negatif bagi kesehatan reproduksi anak perempuan yang belum matang karena rentannya kekerasan seksual dan juga mental dengan terpaksa putus sekolah setelah menikah dini, sehingga MKRI memberikan perlindungan untuk anak perempuan dalam pemenuhan hak konstitusionalnya.
Usia sekolah dan remaja itu adalah waktunya untuk belajar banyak hal positif, tak terkecuali mengenal hukum dan konstitusi negara. Di Perpustakaan MKRI, kita dapat membaca sejumlah buku ajar yang berjudul 'Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi' untuk para murid di SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA.
Isi buku ajar tersebut disesuaikan dengan level kognitif siswa sesuai usianya. Di level SD, definisi hak dan kewajiban individu akan lebih mudah dipahami siswa karena berupa ilustrasi hidup sehari-hari.
Jika belum sempat mengunjungi Perpustakaan MKRI, buku 'Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi' tersebut juga dapat diperoleh di sejumlah lokapasar daring. Untuk koleksi buku di rumah maupun sekolah, buku tersebut patut untuk dimiliki.
Merevisi Usia Anak di Pengadilan
Belakangan ini, kasus kriminal yang melibatkan anak dan remaja sebagai pelakunya silih berganti masuk berita. Lalu, usia berapakah seorang anak harus dapat bertanggungjawab secara hukum?
Sebelumnya, usia anak yang dapat diberikan tanggungjawab secara pidana sesuai dengan UU Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak yakni usia 8 tahun. Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak menyatakan,
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal (delinquent child) telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Anak usia 8 (delapan) tahun itu rata-rata baru duduk di bangku kelas 2 atau 3 SD atau di kelas awal SD. Kita bisa bayangkan kondisi kejiwaan anak sekecil mereka saat harus keluar masuk ruang sidang pengadilan yang sangat kaku dan tegang.