Walaupun bukan anggota ASEAN, namun pendapatan Selandia Baru dari kontribusi mahasiswa asing sebesar US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 77,5 triliun (setara dengan setara dengan ekspor daging, kehutanan dan hortikultura Selandia Baru) pada 2018 adalah motivasi kuat untuk meluasnya QRIS antarnegara demi mudahnya transaksi harian.
Rasa aman dan nyaman saat belajar di suatu negara sangat berpeluang untuk (sukarela) dipromosikan via media sosial para mahasiswa asing yang kini umumnya adalah Native Digital.
Selain untuk promosi pendidikan, pengalaman positif mahasiswa asing dengan konektivitas sistem pembayaran tersebut juga berpeluang menarik lebih banyak lagi turis global ke ASEAN. Sejak pandemi, tujuan utama orang bertamasya tak hanya jalan-jalan (traveling), tapi juga penyembuhan diri sekaligus hati (self-healing).
Wisata medis tambah laris manis
Seorang junior dari Medan saat kuliah pernah bertutur, "Kupikir, setelah kami (dia dan adiknya) kuliah lalu bekerja di Jabodetabek, Mamak dan Bapak akan berobat ke Jakarta. Nyatanya, mereka masih lebih memilih cek rutin kesehatan sambil liburan di Penang Malaysia."
Di ASEAN, ada tiga negara yang sesuai data dari sebuah lembaga survei di bidang medical tourism, Patients Beyond Borders (2021) menempati tiga besar tujuan wisata medis dengan keunggulannya masing-masing yaitu Thailand (harga terjangkau), Malaysia (efisiensi pelayanan), dan Singapura (kecanggihan teknologi).
Adapun definisi wisatawan medis menurut World Health Organization (WHO) yaitu "turis yang bepergian lintas negara untuk mendapat perawatan medis." Nah, definisi tersebut jelas sangat pas dengan hadirnya RPC yaitu QR Code Cross Border dan LCS dari BI.
Per Desember 2021, Indonesia Health Tourism (IHT) mencatat omzet wisata medis di ASEAN rata-rata mencapai Rp 150 triliun per tahun.
Medical Tourism Magazine juga mencatat kawasan ASEAN sebagai daerah tujuan wisata medis dengan pertumbuhan tercepat dan diprediksi melaju sebesar 15.5% sepanjang 2017 hingga 2023.