Dunia sepakbola Indonesia kembali berduka. Sabtu 1 Oktober 2022, tragedi di stadion Kanjuruhan Jawa Timur menewaskan ratusan orang.
Masyarakat tentunya berharap (semua) pihak yang terlibat bertanggungjawab. Selain itu, keluarga korban juga harus diberikan santunan dan juga pendampingan secara psikologis.
Setelah membaca sejumlah berita sejak tragedi yang terjadi kandang Arema FC tersebut, kita patut bertanya tentang kesiapan kita dalam menghadapi krisis yang menimpa kerumunan orang di tempat umum. Para korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tersebut panik dan menyerbu pintu keluar stadion yang terkunci setelah disiram gas air mata oleh polisi.
Padahal menurut FIFA, penggunaan gas air mata dilarang untuk menghalau kerumunan dalam lapangan sepakbola. Bukankah masih ada water canon (semprotan air) yang lebih aman dan tidak akan sampai menimbulkan korban jiwa?
Pintu stadion yang masih terkunci pun menjadi pertanyaan. Idealnya beberapa menit menjelang pertandingan berakhir, pintu-pintu stadion sudah mulai dibuka satu persatu untuk menghindari menumpuknya kerumunan massa seusai pertandingan resmi berakhir.
Kapasitas penonton saat tragedi Kanjuruhan itu terjadi juga ternyata melebihi kapasitas. Apakah pihak penyelenggara ingin mengeruk untung besar sehingga mengabaikan faktor keselamatan nyawa yang (jauh) lebih utama?
Jadi kesal sekaligus prihatin kan ya dengan jatuhnya korban dalam kerumunan di Kanjuruhan. Kalau begini, rasanya jadi ingin kembali dengan masa pembatasan jumlah kerumunan saat pandemi lalu agar semuanya dapat lebih terkendali.
Di Inggris, info dari sejumlah teman yang kuliah di sana, bahkan ada beberapa warga yang meminta pemerintah daerahnya agar membatasi kembali jam buka dan jumlah pengunjung tempat hiburan malam untuk mengurangi keributan di malam hari. Saat pandemi, tempat hiburan malam di Inggris memang sangat ketat memberlakukan sejumlah aturan agar kasus COVID-19 menurun.
Saya pribadi merindukan kondisi jalan raya yang tak macet ketika dulu mayoritas kantor menerapkan aturan WFH. Kini, tak sedikit perusahaan yang melakukan hybrid working alias kombinasi WFO dan WFH sehingga jalan macet lagi deh.
Meskipun sekarang jumlah kasus pandemi berkurang secara signifikan, menurut saya masih ada hal-hal baik yang tetap dapat kita terapkan di saat normal. Salah satunya yaitu pembatasan jumlah orang dalam suatu kerumunan, termasuk untuk penonton pertandingan olahraga, terutama sepakbola yang ramai fansnya.
Miris banget kan ketika kita mengetahui sejumlah balita turut menjadi korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan. Kalau syarat wajib vaksin diberlakukan (dengan ketat) saat pembelian tiket pertandingan olahraga, balita jelas tak akan lolos syarat tersebut.
Pihak panitia penyelenggara dan aparat keamanan (polisi) yang mengamankan suatu kegiatan yang menyebabkan terjadinya suatu kerumunan juga harus tanggap dan tetap tenang saat melihat potensi kerusuhan terjadi dengan mitigasi bencana. Contohnya, di awal sebelum kegiatan dimulai, panitia dapat mengumumkan sejumlah langkah-langkah darurat untuk kerumunan jika terjadi suatu hal berbahaya yang di luar dugaan.
Ini mirip dengan pengumuman saat kita menaiki kereta dan pesawat yang menyampaikan tentang sejumlah langkah antisipatif saat bencana mendadak terjadi ketika kita dalam perjalanan. Mungkin perlu dibuat peraturan resmi oleh pemerintah agar setiap penyelenggara kegiatan yang menyebabkan kerumunan agar memberitahukan kepada pengunjungnya tentang lokasi pintu keluar terdekat serta menyebutkan langkah-langkah penyelamatan diri saat krisis terjadi di luar kendali.
Jika perlu, materi tersebut dapat dimasukkan ke dalam pelajaran sekolah. Kita dapat berkaca dari kisah sukses Jepang dalam mengajarkan para anak usia sekolah tentang cara menghadapi krisis, khususnya bencana alam seperti berlindung di bawah meja saat terjadi gempa, sehingga warganya tak (mudah) panik karena telah dilatih sejak dini menghadapi berbagai situasi krisis tak terduga.
Semakin banyak suatu kerumunan, maka potensi timbulnya kekacauan pun akan semakin besar. Sekali emosi tersulut oleh para provokator, maka kerumunan massa pun seketika dapat menjadi beringas dan ganas sehingga membahayakan tak hanya kerumunan itu sendiri, namun juga lingkungan terdekat di sekitarnya.
Pihak panitia penyelenggara dan aparat keamanan harusnya sudah memperhitungkan peluang terjadinya huru-hara sejak awal akan menggelar suatu event besar, tak terkecuali pertandingan olahraga yang memiliki fans garis keras pada setiap tim. Fanatisme buta membuat oknum suporter sepakbola, tak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia itu, sering sulit untuk menerima kenyataan bahwa 'kalah menang itu biasa, tapi ingat nyawa tetaplah yang utama', setuju kan ya bestie?
Jadi tambah ngeri lho dengan akan adanya kerumunan massa selama masa-masa kampanye parpol menjelang pemilu 2024 nanti. Perlu kali ya dibuat petisi para netizen dari sekarang agar jumlah massa saat kampanye harus dibatasi dan dilarang (keras) untuk membawa bayi dan balita demi keamanan dan kenyamanan bersama kalau sampai terjadi apa-apa nantinya.
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja dapat langsung panik dan kalang kabut tak karuan saat terjadi kerusuhan dalam suatu kerumunan. Kita dapat melihat hal tersebut terjadi saat adanya kerusuhan ketika demonstrasi mahasiswa maupun buruh yang jelas dilakukan oleh orang dewasa.
Pandemi (sepertinya) akan segera dinyatakan berakhir di Indonesia sebelum tahun 2022 ini berganti menjadi tahun 2023. Hal ini pertanda munculnya kerumunan akan semakin banyak ke depannya.
Mari kita semua banyak belajar dari tragedi Kanjuruhan agar tak sampai terulang lagi, baik di pertandingan sepakbola maupun kegiatan lainnya yang menimbulkan kerumunan massa. Meskipun jika hanya ada satu orang korbannya, ingatlah selalu bahwa satu nyawa tersebut begitu berharga, terutama bagi seluruh anggota keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H