Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Parasite" Membuat Korea Berjaya, "Turah" Mendukung Indonesia Berdaya

24 Agustus 2022   21:05 Diperbarui: 25 Agustus 2022   21:20 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik antar kelas sosial-ekonomi dalam masyarakat ternyata tak hanya (selalu) menarik untuk diangkat ke layar lebar, namun juga dapat mengharumkan nama suatu negara. Hal inilah yang dialami oleh sineas Korea Selatan dengan film "Parasite" yang menyabet Oscar 2020 untuk kategori Best Picture.

Meskipun Negara Ginseng tersebut sudah termasuk kategori negara yang maju, gesekan antara warga kaya dan miskin di sana tetap ada dan nyata. Lalu, bagaimana dengan  Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang? Uhuk!

Setelah menonton film "Turah" (2016) karya sutradara Wicaksono Wisnu Legowo, saya pun merasa optimis bahwa potensi bibit-bibit kemenangan sineas Indonesia layaknya Parasite dari Korea itu sudah ada. Turah memang belum seterkenal Parasite, namun tema film yang diproduseri oleh Ifa Isfansyah (Pendekar Tongkat Emas) ini tak hanya relevan secara lokal, tapi juga banyak terjadi di skala global.

Turah yang diproduksi oleh Fourcolours Film ini bercerita tentang pahitnya kemiskinan yang dipertahankan oleh sekelompok orang yang diuntungkan dengan keadaan. Sederhananya, kalau (warga) dapat dibuat sengsara, kenapa harus repot dibuat bahagia?

Film yang berlokasi di Kampung Tirang, Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah ini sejatinya adalah suara hati sekaligus keprihatinan sang sutradara yang asli putra Tegal itu terhadap kondisi terbelakang kampung nelayan tersebut. Meskipun Tirang berada tak jauh dari pusat kota Tegal, listrik pun masih belum menerangi kampung pesisir itu, ironis bukan?

Ini mirip dengan kaum miskin dalam film Parasite yang tinggal di kota-kota modern di Korea Selatan, namun 'apartemen' bawah tanah mereka selalu terendam banjir saat hujan deras, termasuk ketika banjir bandang melanda Seoul belum lama ini. 

Parasite dan Turah memiliki kemiripan dalam kelihaian keduanya saat menarasikan perjuangan orang-orang yang terpinggirkan agar tak terus-terusan dilindas dan kandas oleh kalangan atas yang (mengakunya) berkelas.

Maka inilah tiga hal dalam film Turah yang patut diapresiasi oleh para penonton. Semoga nantinya semakin bertambah film Indonesia yang kualitasnya mencapai box office mancanegara sehingga dapat meraih piala film paling bergengsi di dunia yaitu Oscar.

Film Turah membawa angin segar dengan mengusung dialog berbahasa daerah Tegal (Ilustrasi: CNN Indonesia)
Film Turah membawa angin segar dengan mengusung dialog berbahasa daerah Tegal (Ilustrasi: CNN Indonesia)

Dukungan terhadap bahasa daerah

Di tengah maraknya penggunaan bahasa asing saat ini di Indonesia, tak terkecuali bahasa Korea, hadirnya Turah dengan logat khas 'ngapak' asli Tegal sebagai dialog utamanya tentu saja menjadi angin segar tersendiri. 

Kegetiran perjuangan dua tokoh utama yaitu sang protagonis yang kalem Turah (Ubaidillah) dan si realistis yang temperamental Jadag (Slamet Ambari) jelas lebih dapat mengaduk-aduk emosi penonton saat terucap dalam bahasa daerah.

Percakapan Turah dengan istrinya yaitu Kanti (Narti Diono) juga semakin dramatis dan melankolis dalam bahasa Tegal ketika Turah merasa kehilangan saat tokoh anak tetangga yang disayanginya seperti anak sendiri sehingga sampai dibuatkan layang-layang, Slamet (9 tahun) meninggal dunia. 

Jika diubah seutuhnya dalam bahasa Indonesia, apalagi bahasa asing, maka baik secara konteks maupun sinematografinya akan janggal karena adegan itu memberikan petunjuk tentang ketiadaan buah hati dalam rumah tangga Turah.

Wisnu sang sutradara menuturkan, penggunaan bahasa Tegal di film Turah sempat ditentang banyak pihak karena dianggap tidak akan menjual. Syukurlah, dirinya bertahan dengan keputusannya karena penonton dapat dibantu dengan subtitle yang multibahasa.

Saat sutradara Bong Joon-ho sukses membawa Oscar dengan film Parasite sebagai Best Picture yang pertama kalinya diraih oleh film berbahasa selain Inggris (bahasa Korea), Wisnu dan sutradara lainnya dari Indonesia tentu mempunyai asa bahwa film berbahasa lokal pun nanti dapat mengikuti jejak Parasite. Bahasa di setiap daerah itu unik, tak terkecuali bahasa Tegal di film Turah sehingga layak dilirik dan membuat penonton tertarik hingga akhir film.

Sekalipun berbahasa Tegal, penonton tetap dapat menikmati Turah dalam beragam versi bahasa (Ilustrasi: YouTube)
Sekalipun berbahasa Tegal, penonton tetap dapat menikmati Turah dalam beragam versi bahasa (Ilustrasi: YouTube)

Daerah dibangun setelah film hadir

Ketiadaan listrik dan air bersih adalah hal (mengenaskan) yang nyata di kampung Tirang, baik dalam film Turah maupun aslinya di luar film. Padahal, penduduk kampung gurem tersebut setiap hari diperas tenaganya oleh Juragan Darso (Yono Daryono) yang naif sekaligus kapitalis dan tangan kanannya yang baru bekerja selama tiga tahun yaitu mandor Pakel (Rudi Iteng), si sarjana licik.

Orasi dadakan Jadag di tengah kampung kumuh tersebut, yang bertujuan mengingatkan warga lainnya, bahwa hidup mereka selama ini tak lebih dari sekedar sapi perahan untuk Darso dan Pakel merupakan salah satu fungsi film yang berwujud kritikan untuk pemerintah. Selain demo (besar-besaran) mahasiswa dan masyarakat, film dapat pula menjadi media untuk kontrol sosial.

Syukurlah, film Turah ternyata membawa dampak positif dengan adanya listrik, air bersih, dan tempat ibadah (masjid) di Kampung Tirah, akhirnya. 

Adegan saat Kanti, istri Turah, dengan polosnya menagih janji fasilitas umum tersebut ke petugas sensus (Firman Hadi) setiap kali Pilkada akan berlangsung adalah penanda keras bahwa suara masyarakat itu berulangkali dianggap hanya penting untuk kemenangan politisi karena setelahnya, aspirasi warga mirip angin lalu di telinga pejabat.

Penduduk miskin di lokasi syuting film Parasite dari Korea juga mendapatkan perhatian lebih dari pemerintahnya pasca terkenalnya film bergenre dark comedy tersebut. Harapannya, setelah Turah, ada lebih banyak lagi sineas film yang tergerak untuk mengangkat kondisi daerah-daerah tertinggal dan terpencil di Indonesia sehingga pembangunannya lebih diprioritaskan aparat daerahnya.

Turah bukan sekedar tontonan, tetapi juga sekaligus pendewasaan (Ilustrasi: Kompas.com)
Turah bukan sekedar tontonan, tetapi juga sekaligus pendewasaan (Ilustrasi: Kompas.com)

Tak kondang namun sering menang

Turah sempat diputar di bioskop meskipun tak terlalu lama. Mungkin secara komersil, film berdurasi 83 menit ini dianggap tak terlalu menjual layaknya film yang lebih 'ringan' atau menghibur temanya.

Sekalipun tak (atau belum?) terkenal secara popularitas, Turah telah beberapa kali menang di festival film yang berkelas. Tahun 2016 hingga 2018, Turah tercatat telah memenangkan sejumlah penghargaan nasional dan internasional antara lain Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, kategori Asian Feature Film Special Mention diraih dalam Singapore International Film Festival, serta Festival Film Tempo untuk Sutradara, Skenario dan Aktor Utama Terbaik yang diraih Slamet Ambari dalam memerankan tokoh Jadag yang problematik nan unik.

Di tahun 2017, Turah dikirim untuk mewakili Indonesia dalam Oscar 2018 untuk kategori film Bahasa Asing. Sekalipun Turah tidak lolos seleksi hingga nominasi Oscar, namun kehadirannya tentu dapat memberikan informasi menarik bagi juri Oscar tentang sinema Indonesia yang kualitasnya terus menanjak dari waktu ke waktu.

Enam tahun setelah diluncurkannya film Turah, belumlah terlambat bagi Anda yang belum menontonnya atau mungkin baru mengetahuinya setelah membaca artikel ini hehehehe.... Dijamin, kita tak sebatas mendapat tontonan yang membukakan mata hati dan pikiran tentang kehidupan, tapi kita juga akan semakin menyadari bahwa film-film (bermutu) di Indonesia itu tak melulu Jabodetabek-sentris.

Semoga seperti halnya film Parasite dengan tema konflik kelas sosialnya yang nyata di Korea sehingga dapat dipahami oleh penonton mancanegara dan dianugerahi Oscar, film Indonesia akan segera ada yang menyusul kesuksesan serupa. Film Turah telah membuka jalan yang lebar agar kualitas sinema dan juga perjuangan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia tak lagi dianggap sebelah mata. Salam film nasional.


Judul film: Turah
Sutradara: Wicaksono Wisnu Legowo
Produser: Ifa Isfansyah
Penulis: Wicaksono Wisnu Legowo
Pemeran: Ubaidillah, Slamet Ambari, Yono Daryono, Rudi Iteng, Firman Hadi, Narti Diono
Distributor: Fourcolours Films
Tahun rilis: 2016
Durasi: 83 menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Jawa (dialek Tegal)
Penghargaan:
1. Geber Award & Netpac Award, Jogja-Netpac Asian Film Festival (2016)
2. Asian Feature Film Special Mention, Singapore International Film Festival (2016)
3. Festival Film Tempo untuk Sutradara, Skenario dan Aktor Utama Terbaik (2017)
4. Piala Maya untuk Debut Sutradara Berbakat (Piala Iqbal Rais)dan Film Daerah Terpilih (2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun