Di tengah maraknya penggunaan bahasa asing saat ini di Indonesia, tak terkecuali bahasa Korea, hadirnya Turah dengan logat khas 'ngapak' asli Tegal sebagai dialog utamanya tentu saja menjadi angin segar tersendiri.Â
Kegetiran perjuangan dua tokoh utama yaitu sang protagonis yang kalem Turah (Ubaidillah) dan si realistis yang temperamental Jadag (Slamet Ambari) jelas lebih dapat mengaduk-aduk emosi penonton saat terucap dalam bahasa daerah.
Percakapan Turah dengan istrinya yaitu Kanti (Narti Diono) juga semakin dramatis dan melankolis dalam bahasa Tegal ketika Turah merasa kehilangan saat tokoh anak tetangga yang disayanginya seperti anak sendiri sehingga sampai dibuatkan layang-layang, Slamet (9 tahun) meninggal dunia.Â
Jika diubah seutuhnya dalam bahasa Indonesia, apalagi bahasa asing, maka baik secara konteks maupun sinematografinya akan janggal karena adegan itu memberikan petunjuk tentang ketiadaan buah hati dalam rumah tangga Turah.
Wisnu sang sutradara menuturkan, penggunaan bahasa Tegal di film Turah sempat ditentang banyak pihak karena dianggap tidak akan menjual. Syukurlah, dirinya bertahan dengan keputusannya karena penonton dapat dibantu dengan subtitle yang multibahasa.
Saat sutradara Bong Joon-ho sukses membawa Oscar dengan film Parasite sebagai Best Picture yang pertama kalinya diraih oleh film berbahasa selain Inggris (bahasa Korea), Wisnu dan sutradara lainnya dari Indonesia tentu mempunyai asa bahwa film berbahasa lokal pun nanti dapat mengikuti jejak Parasite. Bahasa di setiap daerah itu unik, tak terkecuali bahasa Tegal di film Turah sehingga layak dilirik dan membuat penonton tertarik hingga akhir film.
Daerah dibangun setelah film hadir
Ketiadaan listrik dan air bersih adalah hal (mengenaskan) yang nyata di kampung Tirang, baik dalam film Turah maupun aslinya di luar film. Padahal, penduduk kampung gurem tersebut setiap hari diperas tenaganya oleh Juragan Darso (Yono Daryono) yang naif sekaligus kapitalis dan tangan kanannya yang baru bekerja selama tiga tahun yaitu mandor Pakel (Rudi Iteng), si sarjana licik.
Orasi dadakan Jadag di tengah kampung kumuh tersebut, yang bertujuan mengingatkan warga lainnya, bahwa hidup mereka selama ini tak lebih dari sekedar sapi perahan untuk Darso dan Pakel merupakan salah satu fungsi film yang berwujud kritikan untuk pemerintah. Selain demo (besar-besaran) mahasiswa dan masyarakat, film dapat pula menjadi media untuk kontrol sosial.
Syukurlah, film Turah ternyata membawa dampak positif dengan adanya listrik, air bersih, dan tempat ibadah (masjid) di Kampung Tirah, akhirnya.Â