Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sempat Dipuja, Startup Kini Tanda Tanya

16 Juni 2022   14:16 Diperbarui: 17 Juni 2022   08:04 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya membaca berita terbaru di salah satu akun resmi Instagram sebuah media online tentang nasib pegawai dua buah startup. Keduanya merumahkan sejumlah karyawannya untuk mencapai efisiensi bisnis startup.

Padahal, kedua startup berwarna hijau dan oranye itu banyak peminatnya lho. Sepengetahuan saya, keduanya jadi idola Generasi Millenial dan Z saat mencari sumber berita hits maupun online shopping sehari-hari yang free ongkir plus banjir promo, khususnya setiap tanggal cantik.

Kedua startup tersebut menambah daftar panjang startup di Indonesia yang nasib masa depannya masih kelam. Jangankan untuk bertahan hingga 10 tahun ke depan, tetap eksis sampai 5 tahun mendatang pun para startup ini belum yakin.

Fenomena ambruknya startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di Amerika Serikat yang merupakan gudangnya startup di bidang teknologi informasi. Tak heran, ada istilah 'Unicorn Zombie' di negaranya Mark Zuckerberg tersebut untuk startup yang dihargai tinggi namun sebenarnya mereka sedang goyah.

Saat startup melemah, karyawannya pun jelas resah. Itu yang saya lihat sendiri pada sejumlah orang di sekitar saya.

Padahal, kita sempat melihat fenomena betapa bangganya seseorang ketika dapat bekerja di sebuah startup, terutama startup yang sedang populer di masyarakat. Bayangan tentang (akan) melejitnya startup yang dipilih sebagai tempat kerja itu pun membuat para pekerjanya seolah terbang ke langit ketujuh.

Lalu, ketika sekarang startup mulai gonjang-ganjing, apa sih sebenarnya yang menyebabkan startup itu (ternyata) tak seindah awalnya? Inilah tiga penyebabnya yang saya rangkum dari penuturan sesuai pengalaman para (mantan) pekerja di sejumlah startup.

Startup idealnya tetap dapat terus berkembang meskipun ekonomi sedang terguncang (Ilustrasi: Bloomberg.com)
Startup idealnya tetap dapat terus berkembang meskipun ekonomi sedang terguncang (Ilustrasi: Bloomberg.com)

Jalan Pintas yang Keras

Strategi "bakar uang" berupa antara lain perang harga dan promo besar-besaran seringkali dipilih startup di awal operasi mereka. Tujuannya tentu saja mencari sebanyak mungkin konsumen.

Sayangnya, taktik ini jika tak dibarengi dengan peningkatan kualitas produk maupun jasa yang ditawarkan oleh startup tersebut, maka malah akan menambah biaya operasional sehari-hari. 

Seorang mantan staf keuangan sebuah startup di bidang kuliner, sebut saja Mbak Mawar, sampai pusing 7 keliling tiap kali menyelesaikan laporan keuangan bulanan.

Ini karena dia harus membuat dua laporan yang berbeda agar pihak investor dan penanam modal tidak shocked ketika melihat timpangnya angka pengeluaran dan pemasukan startup. Setelah 18 bulan bekerja, si Mbak Mawar pun mengundurkan diri karena tak sanggup untuk terus-menerus 'menyulap' deretan angka di laporan keuangan startup.

Tak dipungkiri, lebih banyak startup yang ingin (segera) meraup sukses dalam waktu singkat, khususnya di bawah 5 tahun operasi sehingga mereka menempuh jalan pintas yang ternyata malah berujung negatifnya imbas. 

Padahal, jika para startup tersebut bersedia dengan sabar mengikuti satu-persatu prosesnya, keberadaan bisnis mereka akan dapat berlangsung hingga puluhan, bahkan sampai ratusan tahun.

Ego Tinggi Pendiri Startup

Mas Fulan, sebut saja itu namanya, adalah mantan staf IT pada sebuah startup yang bergerak di bidang financial technology (fintech). Awalnya, dia antusias ketika mulai bekerja dengan para founder startup yang mayoritas alumni kampus dari luar negeri yang bergengsi karena pikirnya, para founder tersebut memiliki pikiran terbuka setelah melanglang buana.

Ternyata, dirinya acapkali dihadapkan pada konflik antar founder yang ingin setumpuk ide bisnis mereka diwujudkan agar nama mereka berkibar sebagai inovator. Buntutnya, Mas Fulan harus lebih sering menjadi penengah konflik ego itu daripada fokus dengan urusan pekerjaannya.

Enggan berlama-lama berada dalam situasi kerja yang menegangkan dan tak efisien tersebut karena dirinya harus bolak-balik menemui para founder sebelum dapat meluncurkan suatu program maupun inovasi, Mas Fulan pun pindah kerja setelah dua tahun. Sepengetahuannya, startup fintech itu kini ibaratnya termasuk kapal yang sedang oleng karena egoisme para pendirinya.

Ibarat pernikahan, suatu bisnis pun harus dijalani dengan hati dan dada yang lapang agar ego (selangit) masing-masing pihak tak sampai meruntuhkan masa depan bisnis itu sendiri. Hal ini (mungkin) yang seringkali dilupakan dan diabaikan para founder startup yang prestasi akademiknya mentereng tersebut.

Ide Bisnis Tak Realistis

Startup yang sukses di satu negara belum tentu akan mengalami hal yang sama saat diterapkan di negara lain. Detil ini yang kadang terlewat oleh para founder startup yang lama tinggal ataupun sekolah di luar negeri saat membangun startup di negara asalnya.

Seorang mantan pegawai startup yang bergerak di bidang handmade accessories, kita panggil saja dia Kak Hayati, merasakan langsung beratnya bertugas sebagai staf marketing selama setahun. 

Di luar negeri, terutama negara-negara Barat, kerajinan tangan khas daerah di Indonesia, jelas memiliki daya tarik dan keunikan khusus sehingga pangsa pasarnya lebih luas.

Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia yang belum (terlalu) menghargai hasil karya seniman, tak terkecuali kerajinan tangan hasil buatan pengrajin lokal. Kak Hayati menemukan bahwa memasarkan produk tersebut sulitnya sudah mirip dengan mencari jarum dalam setumpuk jerami karena konsumen dan pasarnya sangat spesifik.

Tak heran, startup ini pun gulung tikar sebelum menginjak usianya yang kelima padahal sebelumnya telah menerima sejumlah penghargaan sebagai startup yang inovatif. Jika ditilik ke belakang, ide bisnis startup ini memang menarik namun ternyata tidak atau belum dapat berkembang di Indonesia.

Startup memang bukanlah (satu-satunya) 'obat ajaib' untuk masalah ekonomi maupun pengangguran di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Meskipun begitu, semakin banyaknya startup yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka kemajuan ekonomi suatu negara pun akan meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun