Selama ini, peran perempuan Indonesia dalam sinema nasional (relatif) lebih identik dengan para pemeran film di layar lebar. Maklum saja, para aktris ini yang sering diliput oleh media massa sehingga lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Saat ditanya nama aktris film Indonesia, kemungkinan besar nama Dian Sastro dan Pevita Pearce akan sering muncul. Untuk aktris senior, nama Widyawati dan Christine Hakim pun tak kalah pamornya dengan aktris muda.
Namun, apakah peran perempuan Indonesia sebatas sebagai pemeran filmnya? Bagaimana dengan sutradara maupun produser wanita di Indonesia?
Kita patut bersyukur bahwa saat ini sudah banyak sutradara dan produser wanita dalam film nasional. Sebut saja Mira Lesmana, Nia Dinata, Lola Amaria, Nan T. Achnas, dan sederet nama besar lainnya melalui karya film mereka.
Beda ceritanya ketika kita mencari nama sutradara maupun produser wanita di era awal film Indonesia pada masa awal kemerdekaan bahkan hingga tahun 1980 sampai 1990-an. Analoginya mirip betul dengan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Itu baru untuk urusan para pelaku industri film yang berhubungan dengan perempuan. Saat menelusuri tema film wanita, kita patut bersyukur kini temanya sudah sangat beragam dan membawa pesan untuk kemajuan wanita.
Ironisnya, tema sejumlah film nasional pernah terjebak dalam posisi menempatkan wanita sebatas sebagai obyek di atas ranjang (film panas). 30 hingga 35 tahun lalu, ada sejumlah nama aktris wanita yang tersohor sebagai bintang film panas karena saat itu film dewasa sempat berjaya menjadi genre film nasional yang laris manis diserbu penonton.
Maka itulah, setelah membaca sejumlah literatur dan referensi tentang peran perempuan dalam perfilman nasional, saya pun menyimpulkan bahwa sinema dapat menjadi ajang pemberdayaan wanita. Jadi, sesuatu yang mulanya dianggap mustahil bagi perempuan Indonesia, namun ternyata dapat diwujudkan melalui layar lebar.
Inilah dua hal yang membuktikan bahwa peran perempuan dalam film nasional (sangat) tak layak untuk dipandang sebelah mata. Mungkin saja kan, kelak piala Oscar pertama untuk film Indonesia bahkan diraih oleh sineas wanita?
Sutradara wanita pertama yang dihina filmnya
Sejak tahun 2000-an atau setelah meledaknya film 'Ada Apa dengan Cinta (AADC)' yang dibintangi Dian Sastro dan diproduseri Mira Lesmana, masyarakat Indonesia tak asing lagi dengan sineas wanita yang menjadi sutradara maupun produser film. Sayangnya, hal sebaliknya dialami oleh Ratna Asmara yang tercatat sebagai sutradara wanita pertama Indonesia di tahun 1950.
Ratna menyutradarai film berjudul 'Sedap Malam' yang mengisahkan tentang kehidupan tragis seorang wanita malam yang berawal dari keterpaksaan dirinya sebagai geisha (wanita penghibur tentara Jepang) saat masa penjajahan negara Samurai tersebut. Film Sedap Malam ini sukses di pasaran dengan menarik banyak penonton.
Meskipun begitu, Ratna malah dikritik keras oleh media. Mereka menyebut film yang disutradarai Ratna tersebut belumlah tergolong seni dan nilainya boleh dibilang hanya 'sedikit di atas lumayan.'
Padahal, Ratna bukanlah anak kemarin sore di dunia film. Dirinya telah 10 tahun sebelumnya berkecimpung di dunia peran yang diawali sebagai pemain tonil (teater) pada grup Dardanella yang merupakan salah satu kelompok teater terbesar di era kolonial.
Tak patah semangat dengan kritikan tajam tersebut, Ratna kembali menyutradarai film berikutnya yaitu 'Musim Bunga di Selabintana (1951)', 'Dr. Samsi (1952)', dan yang terakhir 'Dewi dan Pemilihan Umum (1954).' Kegigihan Ratna sebagai pelopor sutradara wanita di Indonesia tentunya telah membuka jalan bagi sutradara wanita setelahnya, bahkan hingga puluhan tahun kemudian.
50 tahun kemudian, sutradara Nan Triveni Achnas menyutradai film 'Pasir Berbisik (2001)' yang dibintangi Dian Sastro dan juga Christine Hakim. Sutradara yang juga berprofesi sebagai dosen Institut Kesenian Jakarta itu menuturkan bahwa krunya mayoritas perempuan karena mereka dapat bekerja multitasking dan tak gentar menghadapi kerasnya medan syuting sehingga proses produksi film lebih efisien.
Contoh nyatanya ketika Nan sedang syuting film di kawasan Manggarai yang dikuasai sejumlah preman lokal. Uniknya, para preman tersebut malah tak berkutik kepada kru-kru perempuan, wow luar biasa!
Menurut Nan, di era setelah Reformasi tahun 1998, sineas wanita Indonesia dapat lebih leluasa berkarya maupun bersuara melalui sinema. Hal ini dapat dilihat dari semakin beragam sekaligus berwarnanya tema film nasional yang mengangkat kisah wanita.
Tema film wanita yang mendobrak norma
Drama romantis umumnya menjadi genre film wanita yang selama ini kita tonton. Alasannya sederhana yaitu karena jenis film ini cenderung 'aman' temanya sehingga tidak akan memancing kontroversi.
Tetapi, bukankah film itu juga merupakan gambaran sosial masyarakat di sekitarnya? Patut diingat, tidak semua realita sosial itu membuat tawa, namun tak sedikit pula yang membawa luka, terutama untuk kaum wanita.
Hal itulah yang melatarbelakangi Nia Dinata menyutradarai film 'Berbagi Suami' yang mengupas tiga kisah poligami. Film produksi tahun 2006 itu sukses membuka mata banyak penontonnya tentang praktek poligami yang pada akhirnya lebih banyak membuat wanita merana daripada bahagia, setinggi apapun status sosial ekonomi para suami mereka.
Menurut Nia, personalisasi film nasional tentang perempuan itu  bukanlah hal yang buruk karena jika tak personal, maka tema film wanita pun akan seragam. Padahal masih banyak tema personal yang sekaligus dapat optimal sebagai tema film wanita di Indonesia, termasuk kasus pembunuhan karena mempertahankan kehormatan yang direndahkan.
Senada dengan Nia, sutradara Mouly Surya berhasil membesut film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017)' yang mengisahkan tentang seorang wanita Sumba yang membunuh segerombolan laki-laki jahat yang ingin menguasai peternakan miliknya sekaligus dirinya. Film yang dibintangi aktris Marsha Timothy tersebut berhasil menjungkirbalikkan anggapan bahwa perempuan hanyalah kaum lemah tanpa daya saat harus berhadapan dengan kejahatan.
Namun, ide film yang tak biasa bukan berarti harus selalu kontroversial. Film 'Sokola Rimba (2013)' yang dibintangi aktris Prisia Nasution dan diproduseri Mira Lesmana berhasil menampilkan sisi humanis seorang tokoh nyata yaitu Butet Manurung saat menjadi guru bagi suku Anak Dalam di Jambi yang belum mengenal baca tulis sehingga rawan dikelabui.
Kekuatan wanita pada film Sokola Rimba digambarkan dalam bentuk kegigihannya mengajar masyarakat suku terpencil di tengah ancaman dari sejumlah pihak yang menentangnya. Film Sokola Rimba tak hanya mampu menyuarakan peran penting perempuan dalam pendidikan, namun juga untuk kegiatan penyelamatan alam.
Kita berharap, pasca pandemi ini akan ada sineas perempuan yang menggarap film tentang nasib wanita sejak pandemi terjadi. Isu ini penting untuk diangkat ke layar lebar agar kita dapat meminimalisir dampak negatif pandemi terhadap kaum perempuan dan anak-anak, khususnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) selama lebih seringnya bekerja maupun bersekolah dari rumah.
Perempuan dan film nasional sejatinya adalah dua unsur yang saling melengkapi untuk kemajuan bersama. Maka, sudah selayaknya agar peran nyata perempuan dapat terus dioptimalkan melalui sinema lokal yang nantinya akan berkiprah hingga skala global. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H