Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tidak Hanya Memaafkan, tapi Juga Mengikhlaskan

13 Mei 2021   23:31 Diperbarui: 13 Mei 2021   23:41 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari saling memaafkan dan mengikhlaskan di hari kemenangan nan suci (Ilustrasi: www.davora.cards)

"Forgiven but not forgotten". Ungkapan itu sering kita dengar untuk menggambarkan maaf yang telah diberikan atas khilaf seseorang.

Namun, apakah dengan pemberian maaf berarti semuanya sudah selesai? Tak jarang, maaf sudah terucap tapi di hati masih ada luka terbuka yang tertancap.

Urusan maaf-memaafkan ini memang tak sesederhana kelihatannya. Kita, termasuk saya, pastinya pernah memaafkan ataupun dimaafkan orang lain.

Tetapi, bisa jadi interaksi kita dengan orang tersebut tak lagi senormal sebelumnya. Tak jarang terjadi, kita malah hanya berinteraksi sebatas formalitas.

Maka, sudah saatnya kita mempertanyakan lagi inti maaf-memaafkan tersebut. Apakah maaf kita sebelumnya sebatas di bibir saja atau sudah sampai mengikhlaskan?

Pengalaman saya pribadi maupun orang lain mendapati bahwa keikhlasan dalam memaafkan ataupun dimaafkan ternyata (jauh) lebih penting. 

Ibarat membangun rumah, ucapan maaf adalah bangunannya dan keikhlasan memaafkan adalah perawatan rutin untuk rumah kita.


Tanpa dirawat secara teratur, sebuah rumah pasti akan mudah kotor dan bobrok. Maka inilah arti pentingnya keikhlasan dalam suasana saling memaafkan.

Ikhlas artinya tahu batas

Ini sangat tepat diterapkan untuk orang-orang terdekat kita. Mereka yaitu anggota keluarga.

Caranya yaitu dengan tidak mengungkit lagi kesalahan di masa lalu. Meskipun sudah saling memaafkan (di lisan), mengungkit-ungkit khilaf yang lampau menandakan masih absennya keikhlasan hati.

Lagipula, tak enak kan ya kalau kita seolah masih menyimpan 'skor' siapa yang lebih benar dengan keluarga, terutama keluarga inti. Semakin tinggi 'skor' itu, semakin lebar jurang tercipta yang akan memisahkan kebersamaan nantinya.

Namanya juga hidup seatap. Tak mungkin gesekan bisa hilang 100 persen saat kita berinteraksi.

Nah, sewaktu kita sudah ikhlas memaafkan, kita telah membuat batasan yang sehat untuk diri kita sendiri maupun orang lain untuk tak terpaku dengan masa lalu. Ketika maaf saling terlontar, di situlah tak ada lagi pihak yang merasa paling benar.

Bukankah tak tertutup kemungkinan, suatu saat kitalah yang menyakiti keluarga kita dengan sengaja maupun tidak. Di situlah terasa betul pentingnya keikhlasan memaafkan.

Ikhlas membuat beban terlepas

Bermaaf-maafan sudah (lama) dilakukan, tapi kenapa ya terasa ada yang masih mengganjal di dada? Hati-hati lho, sangat besar peluang bahwa kita belum 100% ikhlas memafkan.

Wajarlah saat rasa kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu saat kita disakiti. Memaafkan pun sepertinya hanya sebatas formalitas semu.

Padahal, semua rasa tak karuan itu bisa terkikis sedikit demi sedikit saat kita ikhlas memaafkan. Beban di hati dan kepala pun terangkat.

Sebaliknya, saat kita terus menyimpan amarah dalam dada, itu mirip benar dengan api dalam sekam. Tak tampak wujudnya, namun saat muncul dampaknya saat membahayakan semuanya.

Bisa terbayangkan betapa ringannya dada dan kepala saat kita telah memaafkan. Setelah itu, keikhlasan pun mudah mengikuti.

Beban perasaan yang terus terpendam juga bisa membuat badan sakit lho. Lebih baik dimaafkan dan diikhlaskan ya.

Ikhlas itu memperluas silaturahmi

Ketika hubungan baik kita dengan orang lain terganggu, dampaknya bisa meluas ke orang-orang di sekitarnya. Contohnya, saat kita bersitegang dengan kepala keluarga salah satu tetangga kita, hubungan dengan istri maupun anak-anaknya biasanya akan menjadi renggang pula secara otomatis.

Oleh karena itu, saling memaafkan dapat menghancurkan tembok kebekuan itu. Suasananya akan semakin cair dengan saling mengikhlaskan.

Mampu memaafkan dan mengikhlaskan juga menimbulkan simpati dari orang lain. Saat seseorang dikenal sebagai pemarah dan pendendam, orang lain pun akan memilih untuk menjauhi orang tersebut.

Keikhlasan yang terpancar dari rasa memaafkan yang tulus jelas akan dirasakan oleh orang lain. Saat berada di sekitar orang yang pemaaf, kita pun akan merasa lebih aman dan nyaman.

Orang-orang seperti itulah yang kita ingin untuk berteman maupun bekerja bareng mereka. Saat ada masalah yang beresiko memicu perselisihan, kita tahu mereka akan menghadapinya dengan lapang dada dan kepala dingin tanpa harus marah-marah.

Ternyata, memaafkan dan mengikhlaskan itu sederhana namun banyak hikmah serta manfaatnya. Saat kita konsisten melakukannya, InsyaAllah hidup pun akan lebih cerah dan membawa berkah, Aamiin YRA.

"Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja'alanaallaahu wa iyyaakum minal 'aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu 'aamin wa antum bi khair (semoga Allah swt masih akan mempertemukan kita dengan Ramadan-Ramadan berikutnya dalam keadaan Iman, Islam serta Sehat  Sejahtera)." Dengan kerendahan hati ijinkan, kami mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H, Mohon Maaf Lahir Bathin atas segala Kesalahan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun