Rumah orang tua saya sudah beberapa kali didatangi orang yang ingin meminjam uang untuk membeli makanan berbuka. Profesi mereka antara lain pengamen dan penjahit keliling.
Orang tua saya lantas membantu mereka semampunya seperti memberikan sembako. Untuk pinjaman uang, orang tua pun menyampaikan bahwa mereka tak perlu menggantinya.
Bagi kita, mungkin saja nominal uang yang mereka perlukan itu tak seberapa. Namun bagi mereka, sekecil apapun bantuan kita untuk mereka pasti sangat terasa besar manfaatnya, khususnya di bulan Ramadan ini.
Maka itulah, hadits tentang keutamaan memberi makan, maupun bantuan materi lainnya, kepada orang yang berpuasa, selalu terngiang-ngiang di kepala saya saat Ramadan.Â
Bayangkan jika orang-orang yang membutuhkan bantuan tersebut hanya jadi penonton orang-orang yang bisa berbuka dengan menu lengkap.
Ironis sekali kan ya? Syukurlah, Ramadan kedua pada pandemi kali ini sudah banyak masjid yang memfasilitasi takjil gratis bagi masyarakat umum setelah Ramadan tahun lalu terpaksa tutup selama sebulan penuh.
Rona bahagia para penerima takjil gratis tersebut patutlah menjadi motivasi kita untuk terus berbagi selama Ramadan. Tentu saja, harapannya berbagi itu bisa terus berlanjut setelah Ramadan.
Ini karena hadits Nabi Muhammad saw di atas tak hanya menyangkut tentang pentingnya kesalehan individual (berpuasa), namun sekaligus kesadaran untuk melaksanakan kesalehan sosial secara kolektif.Â
Ketimpangan status sosial-ekonomi sejatinya bukan menjadi pemisah di antara umat selama Ramadan.
Namun, harusnya malah semakin menumbuhkan semangat berbagi dan peduli antar sesama mahluk hidup ciptaan Ilahi.Â
Ingatlah selalu bahwa dalam harta kita, tersimpan pula hak orang lainnya (kaum dhu'afa) yang harus kita salurkan pula ke mereka.