Salah satu dari kedua anak yang nakal itu pun lalu mengusulkan agar masing-masing kami meniru saja tanda tangan beliau. Toh sudah ada contohnya ini di depan mata kami.
Parahnya, kami mau pula menuruti saran (akal bulus) mereka! Mungkin inilah yang namanya 'the power of kepepet' hehehe...
Lain waktu, ada pak imam yang langsung pulang ke rumah karena harus segera menjemput saudaranya di stasiun kereta. Kami sempat bingung karena tak ada contoh tanda tangan beliau.
Eh, siapa sangka keponakan dari istri pak imam ada pula di masjid. Dirinya tak ikut meminta tanda tangan karena sudah SMP.
Si keponakan itu mau membawa setumpuk buku kami ke rumah pamannya. Senanglah hati kami!
Tapi, ternyata ada 'upahnya.' Setiap anak wajib membayar 1000 rupiah per tanda tangan.
Mau tak mau, kami pun membayar 'jasa kurirnya.' Betapa beruntungnya si kurir dadakan itu karena dalam semalam dia langsung mengantongi 35 ribu!
Semasa kecil dulu, saya kadang kesal juga dengan tugas sekolah saat Ramadan. Saya pun tak terlalu suka saat harus berdesak-desakan tiap kali meminta tanda tangan pak imam seusai tarawih.
Namun, kini saya bersyukur dengan semua itu. Hikmah baiknya adalah saya termotivasi ke masjid setiap Ramadan, meskipun dulu niatnya adalah lebih untuk mencari tanda tangan hehehe...
Saya juga terbiasa untuk mencatat dengan baik selama mendengarkan ceramah tarawih. Maklum zaman itu belum ada smartphone untuk merekam apapun seperti saat ini dalam sekejap mata.
Sekarang di Ramadan kedua selama pandemi, saya pun membayangkan jika dulu pandemi sudah menyerang. Bisa-bisa tugas sekolah saat Ramadan dengan datang ke masjid itu tak bisa dikerjakan sama sekali.